41. Our Choices

3.4K 169 52
                                    

3 tahun sudah Ray angkat kaki dari rumah itu. Bahkan sampai hari ini pun ia tidak ada kabar.

Malam itu, dia memikirkan semuanya matang-matang.

Tentang tinggal dimana?
Kemana akan kabur?
Bagaimana kabur ke tempat itu?
Bagaimana mengecoh kedua orang tua itu?

Dia awalnya mau meminta tolong Vano, tapi kata Nola, dia dan Jimmy terlibat dalam sugesti yang dilakukan Zac.

Rencana pertamanya adalah Vano pura-pura melihat masa depan dan melihat Ray kabur ke Bandung, padahal yg kabur Jimmy, sementara dia sebenarnya kabur ke kampung kesempatan.

Tapi pemikiran segera dihapus, pasti tempat pertama yang dicari bapaknya adalah Kampung Kesempatan itu. Apalagi Pak Uztad orangnya netral, dia ga bakal setuju tentang kawin lari ini.

Dia tau, kalau mau kabur dari bapaknya, bakal ada korban. Tapi kalau diinget-inget, korbannya adalah orang-orang yang ia kenal atau dekat.

Munculah ide lain.
Dia tau Rico dan Lauren gila mobil-mobil sports dan kebetulan Ray punya banyak di rumahnya.
Akses kuncipun ga susah, karena deretan kunci itu di gantung disebelah pintu menuju ke atas.

Maka itu dia meminta tolong Rico dan Lauren. Setelah Ray menceritakan keadaan, konsekuensinya, dan berbagai peringatan, mereka tetap setuju selama mereka boleh ngebut-ngebutan dengan mobil sports itu.
Awalnya Ray mau kabur begitu aja,
"Oke guys...thank you", kata Ray senang.

Kedua pemuda itu tersenyum sedih, mengetahui mereka akan berpisah dengan Ray.

Kemudian Rico bergumam, "I wonder what your parents think about this..."

"Hm? Wait, Ray, lu ngga mau ninggalin pesan apa gitu buat keluarga lu?", tanya Lauren tersadar, celingukan ngeliat Ray sama Rico bergantian.

Ray juga baru sadar, tapi dia langsung ngegeleng, "No...gw ga mau mereka terbebani"

"Justru lu hilang ga ngomong apa-apa bikin mereka terbebani tau!", marah Lauren, "Iya lho, lu juga yg repot nanti mereka nyari lu mati-matian. Duit bapak lu kan kenceng, dia pasti berani keluarin berapapun buat dapet lu balik. Lu kan anaknya", tambah Rico setuju.

Ray menghela nafas, "Bener sih...Jadi gw harus bikin pesan terakhir nih? Tulisan?"

"Klasik tapi gampeng hilang", komentar Lauren geleng-geleng. "Video aja", lanjutnya singkat.

"No, no, no, gw gamau. Gw pasti nangis di video itu", tolak Ray geleng-geleng. "Kalo ga mau nangis...kenapa ga rekam suara lu aja?", usul Rico menyunggingkan senyumnya.

Disitulah ide itu muncul.

Raypun merekam suaranya dengan kedua hp temannya, jaga-jaga kalau Zac malah mengejar Lauren.

Setelah itu, Ray pulang lagi sekitar jam 1. Ia melepas semua pakaiannya dan mengganti dengan yang baru, sebelumnya juga dia juga meretas CCTV rumahnya, padahal Zac mengajarkannya agar bisa lebih berkuasa di bidang bisnis, tapi Ray malah menjadikan hal itu senjata melawan bapaknya.

Siap dia mengorbankan segalanya demi Nola, pemuda itu menuruni tangga dengan berat hati, menyayangkan hal ini.

Seandainya Abqari dan Zac tidak serumit dan seberbahaya itu, Ray tidak akan kabur.

Kalau berusaha berbincang dengan Abqari, hal itu hanya akan memancing amarahnya, lagipula ancaman tidak akan berpengaruh padanya. Kalau Ray mengancam Abqari dengan cara membawa kabur Nola, dia akan segera tau itu gertakan kosong, malah dia akan menyakiti Ray juga.

Sama ke Zac, Ray berpikir kalau ayahnya hanya akan menyugestinya lagi, belom lagi dia orangnya nekat.

Maka itu, Ray meminta Abqari dan Zac untuk berbaikan, dengan anak-anaknya sebagai taruhan.
Kalau mereka bisa berbaikan, Ray berjanji akan bertemu lagi.
Tapi kalau tidak berbaikan, mereka tidak akan mau bertemu.

I Order You to Follow Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang