Chapt 01

44.9K 1.1K 9
                                    

.
.

- Ervin -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

- Ervin -


Aku Ervin. Terbiasa hidup sendiri dan jauh dari keluarga, tanpa teman-teman.

"Apa benar dia? Sudah kuliah tapi tetap tidak berubah. Dasar."

"Sebenarnya manis, tapi entahlah dia aneh."

"Hei, bocah! Aku ingin mendengarmu bicara! Ahahaha.."

Aku berlari tanpa melirik seorangpun dari mereka, melewati lorong kampus, mengambil sepeda lalu mengayuhnya dengan kencang. Pergi sejauh mungkin dari keramaian anak-anak kampus yang tak menyukaiku.

Menggesek kartu pinjaman sepeda dan mengembalikan ke garasi, kakiku berjalan lambat menuju kos. Sebenarnya bisa menaiki bus umum, tapi uangku habis dan sialnya atm sedang diperbaiki.

Aku payah. Lemah. Tak memiliki keberanian untuk bermimpi tinggi seperti yang para motivator katakan. Seharusnya kuubah sesuatu namun tak tau mulai dari mana. Orang lain seperti hantu. Menyeramkan. Tatapan mereka, suara mereka, meski terkadang baik namun siapa yang tau maksud sebenarnya..

Sejak sma aku memutuskan untuk meninggalkan rumah dan bersekolah di luar pulau. Rumah kecil, hangat dan nyaman. Sangat jauh dari keramaian. Desa yang cantik.

Seorang perantauan.

"Aku pergi untuk tumbuh lebih baik. Aku akan berkunjung." Kataku sebelum pergi.

"Ada banyak hal diluar sana yang diluar dugaanmu. Jadilah kuat. Kami selalu ada untukmu. Kamu tidak sendiri." Ucap ibu

Kalimat terakhir yang kudengar darinya. Semenjak aku pergi, penyakit ibu sering kambuh dan tak ada seorangpun dirumah. Kami terlambat datang. Dia sudah tiada. Rumah menjadi lebih sepi. Sudahlah. Itu sudah lama. Aku benci jika mengingatnya.

Sudah hampir lima tahun disini. Seharusnya aku berkembang lebih baik. Tapi. Tapi kenapa sebaliknya. Mulutku seakan terbungkam oleh penyesalan dan tikaman membuat tubuhku berat untuk bangkit.

"Aku sudah berusaha. Tapi Tuhan seperti tak berpihak padaku. Apa usahaku kurang?" Ucapku

"Kau sudah sedikit berkembang dari sebelumnya. Usahamu tidak sia-sia. Hanya saja kau butuh orang lain untuk menemanimu, penyembuhan akan lebih efektif jika dia ada."

Minggu lalu aku kembali mengunjungi psikiater. Dan dia mengatakan hal itu, sejujurnya sedikit menyebalkan. Namun psikolog itu benar. Aku butuh seseorang.

Pulang kuliah, di pinggir jalan raya. Berjalan melewati trotoar dengan pandangan suram. Suasana sore hari.

Bruk!!

"Ah! M-maaf.."

"Tidak apa-apa."

Aku berdiri, menunduk dan sedikit melirik orang dihadapanku. Ia sibuk merapikan dasi dan kemejanya. Mata kami bertemu sesaat dan itu membuatku takut. Segera kupejamkan mata, seketika aku berdebat dengan diriku sendiri. Apa ia akan marah dan melakukan sesuatu padaku? Tidak. Aku yang salah. Aku tidak melihat depan waktu berjalan tadi. Maafkan aku. Maafkan. Tidak salah, kamu tidak sengaja. Aku membuat kemejanya kotor.

"Hei? Kau baik-baik saja?" Tanya orang itu sambil melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku mengangguk.

"M-maaf, aku tidak sengaja.."

"Tidak masalah. Um, ngomong-ngomong apa kau tahu gedung ini sebelah mana?"

Ia mengajukan secarik kertas bertuliskan alamat dan nama sebuah perusahaan disana.

"Ponselku kehabisan baterai, hehe." Lanjutnya

"Ah, ini. Ada di belokan dekat lampu merah sana."

"Terima kasih.."

Orang itu tersenyum lalu aku beranjak pergi. Aku mengira percakapan kita selesai sampai disini, namun ternyata tidak. Ia menahanku dan memberikan kartu namanya.

"Aku Farel. Hubungi aku jika butuh bantuan." Ia tersenyum lebar sebelum berjalan pergi menuju gedung.

Ternyata seperti ini rasanya bercakapan dengan orang baru.

.
.

A BOY LIKE YOU (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang