PART 18

77 6 0
                                    

Saat ini kondisi deva sudah membaik, suhu badan yang tadinya panas kini perlahan menurun. Ia benar benar bosan karna harus berbaring di sini, perihal sang mama, fani berada di luar kota megurusi perusahaan miliknya.

Deva juga tidak mengabari sang mama, ia tidak mau kalau mamanya memikirkan kondisinya saat ini, toh sekarang tubuhnya mulai membaik bukan?

Dengan di temani bi atun di ruangan seperti ini, sudah membuat deva tersenyum.

"Bi aku bosen di sini, mending pulang aja." Bi atun yang mendengarnyanya langsung menarik sudut bibirnya.

"Non deva memang sudah enakan." Tanya bi atun, dan sekarang tangan bi atun mulai mengecek suhu badan di tubuh majikannya.

Panasnya sudah turun Ucapnya lirih

"Pulang sekarang aja bi, gimana ?." Tanya deva yang memang sudah tidak sabar ingin cepat cepat pergi dari ruangan ini.

"Sebentar bibi panggil dokter dulu non, nanti bibi tanyain. Kapan non deva bisa pulang." Sahut bi atun tersenyum dan mengelus elus puncak kepala deva.

Deva pun tersenyum dan mengagguk semangat.

Bi atun melangkah kan kakinya, dan keluar ruangan yang bernuasa putih itu.

Deva pun memejamkan matanya, mencoba menangkan pikirannya. Tak lupa dengan senyum yang mengembang, lagipula ia sudah tidak sabar ingin kembali ke rumah. Dan kembali bersekolah.

"Eh devasyayang." Ucap seseorang itu dengan wajah tanpa dosanya.

Ya, suara yang tidak asing lagi di telinga deva.

"Gimana?" Tanya apip yang kini sudah duduk di kursi.

"Udah enakan."

"Bukan." Sergah apip

Deva bingung, bukan apanya yang bukan. Bukankah maksud dari pertanyaan apip untuk menanyakan kondisinya.

Melihat raut wajah deva, apip gemas sendiri. Wajah kebingungan yang nampak jelas pada diri deva. Ia pun  maengacak puncak kepala deva.

"Bentar deh bentar." Ucap deva yang kini melihat ke arah baju apip yang masih menggunakan seragam,  bukannya ini sudah bel masuk. Kenapa  dia di sini. "Kenapa kaya gini."

Apip mengangkat sebelah alisnya."Apanya, gak ada yang aneh."

"Lo gak masuk sekolah kenapa? Mau jadi apahan sii? Ini tuh udah masuk seharusnya."

"Gue telat, mending puter balik terus kesini." Ucapnya enteng.

"Bisa kan masuk, paling juga di hukum kalo telat." Sahut deva kesal.

"Percuma. Gak ada yang bisa gue gangguin." Kedua alis apip naik turun. Membuat yang menatapnya  memutar bola matanya  jengah.

"Mending di sinih kan, bisa gangguin lo." Lanjutnya.

Deva sontak membelalak kaget. Perihal apip mengatakan seperti itu, membuat dugaan deva memang benar cowo di hadapannya ini slalu membuatnya jengkel.

"Jangan ngomong sama gue." Ancam deva yang kini memalingkan wajahnya ke samping.

"Ituh ngomong." Apip tertawa melihat tingkah deva.

Ceklekk

Suara pintu ruangan terbuka, di balik pintu menampilkan pria paruh baya. Dia adalah mirza januar, papa yang benar benar deva rindukan. Tubuh tinggi, rahang tegas, alis tebal, rambut hitam, dan tentunya berkharisma. Dengan setelan kemeja polos yang di gulung sebatas siku membuat siapa saja terkesima akan sosok mirza. Ia baru saja pulang dari luar negri. Mengurusi bisnis yang ada di sana.

"Papaaa." Mata deva membulat saat tau siapa yang datang. Sang papa yang sosoknya sangat deva rindukan.

Melihat siapa yang datang apip langsung bangun dari kursi yang tadi ia tempati.

"Papa kangen banget kamu sayang." Ucap mirza yang kini mencium kening dan puncak kepala deva.

"Aku juga banget bangettt." Entah sejak kapan mereka berpelukan. Pelukan yang sangat di nanti oleh deva. Ya, pelukan sang papa.

"Kamu gimana heum? Mana yang sakit." Mirza mencoba meneliti kondisi deva.

Deva tersenyum. Senyum yang begitu merekah. "Aku udah enakan ko pa, oh iya aku mau pulang sekarang aja."

Mirza tersenyum saat melihat tingkah deva.

Mata deva melihat apip yang sedari tadi duduk di sofa. Ia sampai lupa bahwa di ruangan ini tidak hanya ada dirinys dengan sang papa saja.

"Papa kenalin ituh apip teman deva." Ucap deva memberitahu sang papa.

Mata mirza teralihkan oleh sosok anak laki laki yang duduk di sofa. Melihat papa deva yang memperhatikannya apip langsung menyalami papa deva. Dan tersenyum.

"Saya apip om, teman deva." Ucap apip kepada mirza. "Sekarang temen om, saya lagi usaha supaya deva suka juga sama saya om." Lanjut apip sepelan mungkin kemudian terkikik geli dengan omongan yang ia lontarkan kepada sang mertua? Hah mertua? Ngomong apa apip ini.

Mirza yang mendengarnya lantas tertawa. Ada ada saja anak ini, tingkahnya sangat mencerminkan dirinya waktu dulu. Saat mirza masih berusia muda.

"Kamu bisa aja."  Ucap mirza sesekali melirik deva yang dari tadi memperhatikan keduanya. "Tingkah kamu ngingetin om dulu." Lanjut mirza.

Apip terkekeh dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Ganteng nya om juga gak jauh beda sama saya." Ucap apip yang kini terdengar ke pendengaran deva. Apip tidak berbohong saat lelaki itu datang ke ruangan deva. Lelaki itu sangat tampan apip akui ituh. Ia sengaja ngomong sedikit keras agar deva tidak mencurigai dirinya yang sedang mencoba menarik simpati sang papa. Agar ia bisa menjadi pendamping hidupnya. Ya, semoga saja.

Deva yang mendengar tak terima enak saja papa nya di samakan oleh makhluk yang membuat deva kesal.

"Gantengan papa kali." Sahut deva

"Elah gak beda jauh dev, sama sama cogan." Ucap apip nyengir.

"Papa ga nyebelin ya, ga kaya lo."

"Gue nyebelin gini lo suka."

Deva memuatar bola matanya jengah. Apa dia bilang? Suka? Bahkan sifat nyebelin apip slalu membuatnya kesal. Terlebih saat melihat raut wajah apip dengan tampang tanpa dosanya.

"Enak aja, pedean dasar."

Mirza  yang melihat tingkah apip dengan anak semata wayangnya terkekeh.

"Papa apip nyebelin, suruh dia nernak kambing pa." Adu deva kepada sang papa.

"Gimana kalo nernaknya sama lo? Biar kita jagain bareng bareng. Latihan juga jagain anak anak kita nanti." Bahkan apip sudah tidak tau malu bersikap konyol di depan mirza. Memang benar anak ini tidak bisa menjaga immege.

Bagi apip sendiri ia tidak perlu menjadi orang lain saat bertemu dengan orang yang apip suka. Terlebih keluarga deva, memang sikap asli ini saat ia berada di rumah. Baginya keluarga deva juga sudah ia anggap seperti keluarganya. Jadi wajar saja dong? Dia seperti ini.

"Mau papa beli in kambing? Deva mau berapa? ." Ucap mirza menaikan sebelah alisnya. Tak lupa mirza mengulum senyum. Ia yakin bahwa deva akan kesal dengan dirinya.

"Papa gitu sii, nyebelin tau gak." Ucap deva mengerucutkan bibirnya. "Lo hasut papa gue ya." Lanjut deva menuduh apip.

Apip terkekeh. Melihat tingkah deva memang membuatnya betah berada di sini. Ternyata ada bagusnya juga ia telat langsung kesini. Selain bisa menjahili deva, ia juga bisa bertemu dengan om mirza. Ya nantinya bakal jadi? Eumm jadi apaya? Apip juga bingung sendiri.

"Nanti lo jaga kambingnya. Biar gue cari rumputnya, terus lo gak perlu repot repot cari makanan buat tuh kambing."

"Gak denger bodo." Ucap deva benar benar kesal. Kenapa jadi membicarakan kambing coba? Sedangkan di sini rumah sakit, bukan kandang kambing.

SIAPA YANG BINGUNG? IYAA KENAPA JADI NGOMONGIN KAMBING COBA.

ARSHADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang