9 - Hukuman

886 88 48
                                    

“Aduhh..”

Gadis berambut hitam legam itu meringis tatkala ia terjatuh kembali. Saat ini ia sedang membantu para OSIS membersihkan sisa-sisa ospek hari ini. Dari memungut dan membuang sampah, hingga membawa beban berat sendirian.

Tak heran jika ia diberi hukuman, lantaran ia lupa membawa topi dan papan namanya. Walaupun demikian, ia tak sekalipun mengeluh. Karena baginya, pekerjaan seperti ini sudah biasa. Namun yang tidak biasa adalah, semua ini ia lakukan sendirian, sedang para OSIS sedang bersenda gurau di ruang OSIS.

“Lo harus bisa Ren, lo kuat! Salah lo sendiri sih, main kagak bawa tuh benda sialan,” gumamnya.

Seluruh siswa SMA Regantara telah dipulangkan sedari tadi, karena masih pada masa ospek dan penyesuaian diri dengan kelas baru. Ia pun telah satu jam ini melakukan pekerjaan yang lebih pantas disebut ‘hukuman.’ Tatkala ia sedang memunguti sampah di lapangan belakang, tiba-tiba seorang gadis dengan rambut sebahu menghampirinya dan turut berjongkok di hadapannya.

“Aku bantu, ya?”

Rensa menggeleng. Ia meneruskan kembali hukumannya, dan gadis di hadapannya tetap membantunya meskipun ia tak menyetujuinya.

“Nggak usah bantu gue,” ucapnya dingin.

Gadis itu hanya tersenyum, lantas melanjutkan kembali memunguti sampah yang lain.

“Dibilangin juga, nggak usah bantu gue!” serunya yang membuat gadis berwajah manis itu tersentak.

Kini mereka telah saling berdiri dan berhadapan. Pandangan Oceana memandang teduh mata Rensa, sementara yang dipandang malah membalasnya dengan tatapan tajam.

“Oce, jangan bantu gue. Jangan baik sama gue. Jangan jadi temen gue. Jauhin gue,” ucapnya sebelum melanjutkan kembali hukumannya.

“Aku nggak bisa. Aku mau temenan sama kamu karena aku pengen jadi tem—”

“Lo butuh apa dari gue? Bilang! Jangan sok nyari muka di depan gue, Oce!”

Lagi-lagi Rensa menyentaknya, dan hal itu berhasil membuat Oceana mendekat ke arahnya dan memeluknya erat.

“Mungkin kamu lupa, Re, aku maklum. Tapi yang jelas, izinin aku buat jadi temen kamu, oke?”

Rensa mematung. Lidahnya terasa kelu. Tak ada sepatah kata yang meluncur dari bibir tipis Rensa.

Gue lupa? Oceana ini sebenernya siapa, sih?

Selama sepersekian detik, ia sengaja membiarkan Oceana memeluknya. Namun lama-kelamaan ia mulai merasa pundaknya pegal, lantas ia mendorong pelan bahu gadis berwajah manis itu.

Oceana. Wajah dia manis, dan mirip seperti orang yang familiar di otakku. Tapi, apakah itu benar? Ah, tidak mungkin.

Belum genap ia diselimuti oleh rasa penasaran, tiba-tiba gerombolan OSIS datang mendekat ke arah mereka dengan Devan yang menampilkan senyum manisnya disertai tepuk tangannya.

“Kita dari tadi ngamatin kalian. Serasa lihat drama asli. Gimana kalau kalian gabung untuk ngisi acara teater buat penutupan ospek besok lusa?” tawar Devan yang langsung dijawab gelengan tegas Rensa.

“Gue nggak mau. Hukuman gue udah selesai, kan? Kalo gitu, gue permisi,” ucapnya sambil berlalu cepat dan mengabaikan namanya yang terus disuarakan oleh mereka.

Sialan emang.

***

Ia berjalan pelan memasuki kediamannya. Baru saja ia tiba di ruang tamu, ia telah dikejutkan oleh anggota keluarganya yang sudah berkumpul, kecuali Shaquille yang tidak terlihat batang hidungnya. Sekilas, Rensa mengernyitkan dahi tatkala mereka memandanginya dengan pandangan yang beragam. Marah dan kecewa.

Namun, bukan Rensa namanya kalau ia menanggapi tatapan mereka. Ia pun memilih bersikap ‘bodo amat’ sebelum pergi mendekati tangga.

“Rensa.”

Suara David berhasil menghentikan langkahnya. Ia pun berbalik dan mendekati David yang duduk di samping Linda dan Chareze alias Chaca.

“Papa mau bicara sama kamu. Apa bener kamu yang udah godain mantan Chaca sampai dia putusin Chaca? Dan sekarang mantan Chaca dekat sama kamu?”

Deg.

Mantan Chareze? Siapa? Kenal aja kagak.

“Jangan jadi perusak hubungan orang, Ren. Papa nggak suka lihatnya. Apalagi kamu udah godain mantan pacar Chaca waktu mereka masih pacaran,” lanjutnya.

Wah, kagak bener nih.

“Gue nggak pernah godain pacar orang. Kenal mantannya dia ae kagak. Jangan sok iya dengan fitnah orang sembarangan,” ucapnya dingin.

Seketika, tamparan keras ia dapatkan pada pipi kanannya, dan tonjokan keras tepat mengenai perutnya hingga ia terjatuh dengan memegangi perut dan pipinya yang terasa nyeri.

“Nggak sopan ya, kamu sama orang tua?!”

Kini, David telah naik pitam. Sementara itu, Linda hanya meneteskan air matanya dengan deras sambil melihat kondisi putrinya yang mengenaskan, dan Chareze hanya menampilkan smirk nya yang membuat Rensa curiga jikalau dalang dibalik ini semua adalah saudari tirinya.

“Bukannya gue nggak sopan, tapi karena lo dan anak lo gue nggak sopan!”

Plakk!!

Lagi-lagi tamparan ia dapatkan pada tempat yang sama. Tampak, sudut bibirnya mengeluarkan darah, dan beberapa kali gadis berambut hitam legam itu meringis karena sudut bibirnya yang sobek.

Ia pun bangkit dengan sisa-sisa tenaga, lantas balik menonjok David pada pipi kirinya, lantas menatap tajam ke arah saudari tirinya.

“Drama apa yang lo buat, Cha?! Gue aja nggak kenal siapa mantan lo! Dan asal lo tau ya, gue tau betul semua ini lo dalangnya!”

Plakk!!

“Rensa, cukup!”

Tamparan dan bentakan lagi-lagi Rensa terima dari papa tirinya—David. Ia tak begitu memedulikan fisiknya yang terasa sakit, namun hatinya. Linda hanya bisa pasrah dan diam tanpa membela putri kandungnya barang sekalipun. Dan itu membuat kebencian Rensa kepadanya semakin bertambah.

“Keluarga sampah. Nggak seharusnya gue ada di si—”

Plakk!!

Bukk!!

“Rensa!”

Teriakan Linda menggema seantero rumah. Ia menghampiri putrinya yang telah terkapar lemah dengan darah yang menghiasi wajahnya. Sementara itu, Rensa hanya diam sambil menampilkan seringaiannya. Ia tak gencar untuk kembali membantah selama itu benar menurutnya.

Fuck.”

Ucapnya sebelum bunyi gaduh kembali terdengar dan pandangannya mengabur secara perlahan.

Papa, Rensa pengen nyusul papa..


To be continue.

© h e y z o r a

BEGINNING OF THE STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang