31 - Panggilan

894 36 6
                                    

Sudah hampir setengah tahun Rensa menjalani pendidikannya di SMA Regantara dengan berbagai pro dan kontra yang ia alami. Ia sangat lega tatkala ia mendapat kabar jikalau saudari tirinya—Chaca—telah dipindahkan ke desa untuk bersekolah di sana. Biar ngerasain jadi orang susah, batinnya. Ia pun mulai terbuka untuk berteman, bahkan sempat ada wacana jikalau ia akan diangkat menjadi Sekretaris di organisasi jurnalistik sekolahnya—Redaksi Jurnaltara.

Ia pun telah kembali melakukan rutinitasnya bersama kakak tirinya—Shaquille—untuk belajar bersama di cafe Uptownk yang merupakan cafe langganan mereka. Bahkan pacarnya—Devan—beserta Oceana, Abinaya, dan Aldhan turut serta dalam belajar kelompok. Kini, mereka tengah fokus belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi ulangan akhir semester yang akan diadakan lusa.

Ulangan itu baik, tapi serba salah kalau soal yang keluar nggak sesuai ekspektasi, pikir Rensa sesekali tatkala ia sedang belajar.

“Woi! Gimana nih rumusnya, Ren?” tanya Abinaya kepada Rensa sambil menyodorkan buku fisika tebalnya.

Rensa pun mengernyitkan dahinya sambil menatap tajam teman kakak tirinya itu.

“Mana gue taulah, Bin!” ketusnya. “Eh, kakak Abinaya maksudnya,” ralatnya tatkala Shaquille memelototinya.

Ia mendengus sebal. Ia telah terbiasa memanggil Abinaya tanpa embel-embel ‘kak’ dan sebaginya, namun Shaquille melarangnya karena itu dianggap tidak sopan. Walaupun demikian, sebetulnya Abinaya tak keberatan jika Rensa memanggilnya hanya dengan nama saja.

Sorry, kak. Namanya juga lupa,” ucapnya sambil mencebikkan bibirnya.

“Kamu tuh apa, Enca? Kerjaannya lupa mulu,” ucap Devan mengejek kekasihnya sambil terkekeh.

Yang lainpun turut membuat Rensa sebal dengan menertawainya. Rensa pun tamap kian sebal, dan Devan jelas tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Kabur nih, kabur, batin Devan yang masih menatap kekasihnya sambil menyeruput esspresso nya.

Dan benar saja. Belum genap satu menit berlalu, Rensa telah beranjak dari duduknya, namun tangannya berhasil dicekal oleh kekasihnya.

“Mau kemana, Enca? Belajarnya belum kelar. Kamu harus hafalin sejarah dulu ini. Kamu kan pelupa, ntar yang ada—”

“Ih, Ketosku yang limited edition tapi nyebelin, Enca ngambek!” potongnya sambil kembali duduk dan memandangi kekasihnya dengan tatapan tajam.

Ya begitulah Rensa. Setelah keadaan keluarga dan lingkungannya membaik, ia jadi terlihat berbeda. Yang dulu tak berekspresi dan super tomboy, kini menjadi feminim karena Oceana—sahabatnya—selalu memaksanya pergi ke salon dan mencoba baju-baju super feminim. Rensa pun sejujurnya tak keberatan berubah menjadi feminim karena inilah yang ia inginkan dari dulu. Ya, walaupun terkadang sikap datar dan jiwa tomboy nya masih menghinggapinya di situasi tertentu.

“Jangan ngambek dong, Enca. Ntar ketos beliin es krim rasa cokelat ada choco chips nya mau? Sekalian bonus anterin Enca ke toko buku,” tawar Devan dengan menaik turunkan kedua alisnya.

“Mau dong. Gomawoo ketosku, te amo,” ucapnya sambil menampilkan senyum manisnya.

“Wih, adek kakak sekarang udah feminim gini, ya? Tambah ucul deh,” ucap Shaquille sambil berusaha mencubit pipi Rensa.

Rensa pun menghindar dengan ekspresi lucunya, membuat semua yang ada di sana tertawa.

Kadang gue mikir, apa perasaan gue ke Rensa belum ilang, ya? pikir Shaquille di sela-sela tawanya.

Gue suka lihat dia senyum dan ketawa. Lebih manis, batin Devan.

Tanpa Rensa tahu, kedua pria jangkung itu tengah memikirkan hal yang sama. Yaitu dirinya. Namun tak dapat dipungkiri, jika terkadang ia masih merasa ragu dengan kekasihnya, Devan Argadinata.

***

“Kamu cuma beli itu doang, En?” tanya Devan tatkala mereka telah membayar barang belanjaan di kasir.

“Iya, Ketosku. Lagian Enca lagi hemat,” jawabnya sambil memasukkan novel yang baru ia beli ke dalam tasnya.

“Hemat kenapa?”

“Enca mau pergi.”

Mendengar hal itu, Devan langsung menghentikan langkahnya, diikuti Rensa.

Deg.

Enca mau pergi? Pergi kemana? batin Devan mulai gelisah.

“Enca mau pergi sama Oce,” lanjutnya sambil menarik tangan Devan agar kekasihnya itu tidak menghentikan langkahnya

“Kemana?” tanya Devan yang gelisahnya belum juga terobati.

“Enca nggak tau. Tapi yang jelas, kita pergi bertiga. Enca, Oce, Abinaya.”

Gue kira mau pergi kemana aja sama Oceana berdua doang, batinnya yang sedikit lega.

“Ya tapi kemana?” tanya Devan masih penasaran.

“Ke sebuah tempat. Bahkan kata Oce, Enca sama Abinaya harus tau.”

Devan hanya menganggukkan kepalanya, lantas kembali menghentikan langkahnya lantaran mereka telah tiba di dekat motor Devan yang terparkir apik di barisan pertama halaman toko buku yang cukup luas. Ia memandangi kekasihnya, begitupun sebaliknya.

“Kapan pergi?”

“Habis UAS.”

“Naik?”

“Mobil Abinaya.”

Devan hanya ber-oh ria sambil mengambil kunci dari saku hoodie nya. Ia menancapkan kunci tersebut pada tempatnya, lantas menyodorkan helm kepada kekasihnya. Dilanjut dengan ia yang memakai helm nya sendiri.

“Ya udah, hati-hati aja, ya?” pesannya sambil menaiki motornya, disusul oleh Rensa di jok belakang.

“Iya Ketosku.”

Devan tersenyum lega, lantas mulai melajukan motornya membelah jalanan malam kota yang cukup ramai akan kendaraan bermotor. Sesekali macet menyertai, namun Devan tanpa pikir panjang langsung mendahului mobil-mobil yang ada di depannya. Mobil itu bikin macet, pikirnya.

Mereka pun tiba di kediaman Oceana yang juga ditinggali oleh Rensa setelah setengah jam perjalanan. Memang, Rensa sampai saat ini masih menetap di rumah Oceana dengan alasan banyak kenangan buruk di rumahnya. Devan pun sangat memaklumi bagaimana kekasihnya ini dahulu diperlakukan semena-mena di kediaman lamanya. Jadilah ia sangat mendukung Rensa masih menetap di kediaman Oceana.

“Makasih ya, Ketosku,” ucapnya sambil memandangi kekasihnya disertai senyuman manisnya.

“Makasih untuk apa?” tanya Devan pura-pura tidak tahu.

“Makasih untuk belajar barengnya, trus udah dibeliin es krim, dianter ke toko buku buat beli novel, trus dianter pulang juga. Makasih untuk sore dan malam ini, atau bisa dibilang hari ini. Makasih banyak untuk hari ini, Ketosku. Bahkan makasiiihhh banget kamu masih stay di sini bareng Enca yang labil, dan pokoknya makasih aja untuk segalanya.

“Makasih udah buat Enca senyum dan bahagia,” ucapnya yang seketika membuat hati Devan menghangat.

“Iya, Enca. Makasih juga untuk semuanya. Maafin Ketosmu ini yang mungkin sering bikin Enca sebel,” ucapnya sambil mencubit pipi kekasihnya.

Mereka tertawa bersama, bahkan mengabaikan malam yang semakin larut. Dan di tengah tawa mereka, tiba-tiba ponsel Devan berdering tanda panggilan masuk. Devan pun mengangkatnya dengan tatapan yang berubah seratus delapan puluh derajat. Sangat serius.

“Oke, gue ke sana sekarang,” pungkasnya sebelum pamit dan pergi meninggalkan Rensa yang masih mematung dengan penuh tanda tanya.

Siapa tadi? Ada apa? Jangan sampe gue jadi orang yang nggak tau apa-apa!

To be continue.

© h e y z o r a

BEGINNING OF THE STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang