33 - Rukun

1.3K 38 8
                                    

Pagi-pagi sekali Rensa telah bersiap setelah terbangun karena mendapatkan panggilan tadi. Tangannya gemetar, dan seluruh tubuhnya terasa dingin. Jantungnya pun berdegup dua kali lebih kencang dari sebelumnya. Ia pun segera memesan grab car dan pergi menuju lokasi yang dikirimkan sang empu yang baginya sangat familiar dengan suaranya itu.

“Orang yang lu nanti ada di sini. Sama gue. Gimana sih, perasaan seorang Florentesa waktu tau orang yang dia sayang buat dia kecewa?”

Perkataan sang empu melalui telepon sukses membuatnya gundah sampai-sampai tak fokus dengan jalanan di sekelilingnya. Beberapa kali sopir grab car mengingatkannya agar tidak melamun, dan beberapa kali menanyainya mengenai sebab ia melamun.

“Mbak, jangan ngelamun terus. Kita udah mau sampai ini,” ucap sang sopir yang membuat Rensa tersadar dari lamunannya dan mengangguk sebagai jawabannya.

Kenapa gue mikir yang aneh terus tentang mereka, ya? Batinnya.

Tak lama kemudian, mereka telah tiba di tempat tujuan. Di sebuah desa yang asing baginya. Namun Rensa masih ingat betul tentang nama desa ini. Ini adalah desa tempat tinggal seseorang yang berhasil mengubah hidupnya. Iya, menjadi lebih buruk.

“Terima kasih ya, pak. Tolong tunggu sebentar karena saya tidak akan lama di dalam.”

Sang sopir hanya mengangguk sambil menampilkan senyumnya. Rensa pun pergi menuju rumah bernomor 3 sesuai alamat yang diberikan sang empu tadi pagi. Ia mengetuk pintunya, namun tak ada jawaban. Dan dengan gegabah, ia langsung memasuki rumah itu dan menemukan hal yang membuat hatinya seakan teriris.

“Ch-Chaca? Kak Devan? Kalian—”

“Gimana rasanya dikhianati sama pacar sendiri, hm? Udah gue peringati dari awal ya, elo, kalo kak Devan itu punya gue,” ucap Chaca sambil mendekati Rensa.

Sementara itu, Devan diikat di kursi dalam keadaan setengah sadar. Ia pun hanya mengenakan celana panjang saat terakhir kali Devan dan Rensa bertemu. Nggak mungkin, batin Rensa sambil menahan air matanya.

“E-Enca, jangan dengerin Chaca,” ucap Devan lirih.

Rensa tahu, pasti ada yang salah dengan ini. Ia pun mencoba mendekati Devan namun ia didorong oleh Chaca hingga ia terjatuh di lantai yang lembab.

“Jangan deketin dia! Lo tau apa yang ada di sini?” tanya Chaca sambil menunjuk ke perutnya.

Rensa menggeleng. Ia pun mencoba untuk bangkit lagi namun kembali didorong oleh Chaca sampai ia terjatuh kembali. Duh, Re, lu kok lemah, sih? Ayo dong, batinnya.

“Di sini, ada anak kak Devan sama gue.”

Deg.

Rensa menggeleng. Seketika air matanya jatuh tanpa dikomando. Ia benar-benar terlihat lemah dan tak berdaya sekarang hanya karena Devan. Padahal sebelumnya, Rensa adalah seorang gadis yang kuat. Bahkan tamparan David saya tak pernah membuatnya menjadi lemah. Namun sekarang?

“Gu-gue nggak percaya! Minggir lu, setan!”

Rensa pun bangkit dan langsung mendorong Chaca sampai terjatuh. Ia segera menghampiri Devan dan membuka ikatan talinya. Meskipun demikian, dalam lubuk hatinya yang terdalam ia sungguh kecewa.

“K-kak, Enca kecewa. Tapi Enca nggak bisa biarin orang yang Enca sayang kenapa-kenapa,” ucap Rensa sambil membantu Devan berdiri dan berusaha untuk keluar dari rumah yang penampilannya mirip gubuk itu.

“Berhenti kalian!”

Tanpa mereka sadari, Chaca bangkit sambil membawa sebilah pisau di tangan kanannya. Ia mengambil pisau tersebut dari laci meja di dekatnya. Ia pun mendekat dan berusaha menghujamkan pisau itu ke arah Rensa. Namun tanpa ia duga, ia malah menusuk seseorang yang juga disayanginya.

“Kakak!” teriak Rensa dan Chaca berbarengan.

“Kak, kakak bertahan ya, gue bakal bawa lo ke rumah sakit secepatnya—”

“Enggak. Kakak cuma mau bilang sama kalian. Yang akur. Chaca, kakak sedih lihat kamu nggak berubah dari dulu. Dan kamu Rensa, kakak nggak mau lihat kamu sedih,” ucap Shaquille sambil menggenggam kedua tangan adiknya itu.

Tanpa Rensa sadari, sedari tadi Shaquille memang sengaja mengikutinya setelah mendapat kabar dari Oceana jika Rensa keluar rumah pagi-pagi sekali. Shaquille mengikuti Rensa hingga ke desa ini. Dan ia tak menyangka jika adiknya—Chaca—melakukan ulah lagi. Bahkan kali ini lebih parah dari yang sebelumnya.

“Dev? Gue harap lu bisa je-jelasin nanti ke adek gue, ya. Lu udah janji sama gue buat jagain Rensa dan nggak buat dia kecewa.”

Devan mengangguk. Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia membantu Shaquille bangkit dan membawanya menuju grab car yang tadi Rensa tumpangi.

“Kita bertiga bawa Shaquille ke rumah sakit dulu. Masalah mobil Shaquille gampang,” ucap Devan sebelum memasuki mobil, disusul oleh Rensa dan Chaca.

Kini pikiran mereka kalut akan Shaquille. Bahkan Chaca tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang telah ia perbuat kepada kakaknya itu.

Mereka pun tiba di rumah sakit terdekat setelah setengah jam melakukan perjalanan. Rensa dan Chaca memutuskan untuk menjaga Shaquille di rumah sakit, sementara Devan pulang ke rumahnya terlebih dahulu karena keadaannya juga masih melemah, ditambah lagi wajah pucatnya.

“Ren, maafin gue,” ucap Chaca sambil memeluk Rensa tatkala Shaquille tengah ditangani oleh dokter di ruang IGD.

Rensa pun dengan sedikit ragu membalas pelukan saudari tirinya itu. Ia tersenyum, sambil mengelus pundak saudarinya lembut.

“R-Ren, gu-gue mau jelasin se-semuanya,” ucapnya lagi masih dengan isak tangisnya.

Rensa pun mengangguk. Mereka melepaskan pelukan mereka.

“Gue yang ngejebak kak Devan waktu itu. Dan sebenernya, yang buat kak Devan jadi kayak gitu .... Kak Brandon. D-dan yang ada di perut gue bukan anaknya kak Devan.

“Gue bohong sama lo biar lo, biar lo sakit hati karena gue, Ren. Gue minta maaf, ya? Maafin gue juga selama ini buat lo kesiksa.”

Rensa tersenyum lega. Kini hal yang mengganjal di dadanya seakan terlepas begitu saja.

“Cha, lo udah ngelakuin kesalahan yang fatal—”

“Apa harus gue gugurin aja anak ini?” potong Chaca dengan mata yang telah berkaca-kaca.

“Jangan, Cha. Terus kak Brandon kemana? Masa dia nggak tanggung—”

“Siapa bilang? Gue di sini buat tanggungjawab.”

Sontak mereka berdua menoleh ke asal suara. Seorang pria berbadan tegap dengan lesung pipit di pipi kanannya.

“Chagiya, kok kamu ada di sini?” tanya Chaca tatkala Brandon telah berhadapan dengan mereka.

“Aku ngikutin mobil yang kalian tumpangi tadi. Gimana Shaquille? Aku lihat tadi dia terluka—”

“Siapa bilang gue terluka? Gue baik-baik aja,” potong sang empu yang baru saja berjalan santai keluar dari IGD.

“Kalian salah. Gue pakai baju anti peluru juga. Jadi pisaunya nancap di situ, bukan di badan gue. Gue juga udah mikir-mikir kali kalau ada sanderaan pasti ada senjata tajam,” jelasnya sambil terkekeh.

Mereka semua pun turut tersenyum, lega akan kabar baik itu. Entah mengapa hari ini benar-benar begitu cerah, mungkin karena kerukunan yang terjalin di antara mereka. Benar kata orang, bahwa takdir Tuhan lebih indah dari skenario manusia.

To be continue.

© h e y z o r a

BEGINNING OF THE STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang