15 - Tentang Oceana

740 50 11
                                    

Satu kata setelah kegiatan ospek usai, merdeka. Kegiatan paling menyebalkan sebelum KBM berlangsung itu kini telah usai dengan meninggalkan seberkas kenangan tak terlupakan. Tak terkecuali seorang Florentesa Keyline Farren yang mendapat teman baru dan memiliki kesempatan untuk berkenalan dengan ketua OSIS yang terkadang seperti cenayang dan entah mengapa selalu ada ketika ia membutuhkan sedikit bantuan.

Pagi ini para siswa kelas X SMA Regantara mulai merasakan bagaimana KBM yang dilangsungkan di sekolah favorit ini. Dan hal itu membawa antusiasme tersendiri untuk para siswanya. Seperti halnya Rensa dan Oceana yang sudah menampakkan batang hidungnya sebelum jam menunjukkan pukul 07.30.

Mereka berdua memilih untuk duduk di bangku paling belakang, lantaran Rensa merasa nyaman di sana daripada di bangku paling depan yang selalu mendapat tatapan tajam guru killer, ataupun tatapan bersahabat guru-guru lain yang berusaha membuat murid-muridnya merasa nyaman saat KBM dilangsungkan. Rensa tidak terlalu suka berinteraksi. Apalagi wajah datarnya itu selalu mengundang masalah akhir-akhir ini.

“Ren, keknya kita kepagian deh sampainya,” ucap Oceana yang mulai bosan memandangi teman sebangkunya yang sedari tadi berkutat dengan kertas dan pulpen warna birunya.

“Apaan sih, Ce? Diem bentar deh, aku nggak bisa mikir,” jawabnya dengan pandangan masih terfokus pada kegiatannya. Menulis puisi.

“Hah?”

Satu kata yang berhasil membuat perhatian Rensa teralihkan ke arah teman sebangkunya itu. Ia mengernyitkan dahinya, lantas menutup pulpennya dan mulai memperhatikan teman sebangkunya.

“Hah?” ulang Rensa.

“Tumben kamu pake aku-kamu, padahal biasanya enggak,” jelas Oceana yang hanya ditanggapi oleh anggukan sekilas Rensa sebelum kembali meneruskan kegiatannya yang sempat terjeda.

“Cuma ke kamu aja, Ce. Aku ga bisa pake lo-gue di saat kamu pake aku-kamu. Toh juga aku ngerasa kita cocok,” ucapnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari puisi yang tengah ia tulis.

“Cocok gimana, Ren?”

Rensa tidak menjawab. Selama sepersekian menit ia masih saja berkutat dengan puisinya hingga puisi itu akhirnya selesai dengan dibubuhkannya tanda tangannya di sudut kanan bawah kertas berukuran 147 mm × 210 mm.

“Nggak tau. Kamu beda walaupun aku kadang curiga ada yang kamu sembunyikan dariku,” ucapnya sambil menutup pulpennya.

Deg.

Oceana sedikit tersentak tatkala ucapan Rensa memasuki indera pendengarannya.

Apa Rensa tau kalo gue ini sebenernya..

“Apa yang kamu pikirin, Ce? Kamu kok kayak rada kaget gitu, sih? Kenapa?”

Oceana menggeleng dengan cepat, lantas tersenyum simpul ke arah teman sebangkunya yang sudah menampakkan kernyitan di dahinya itu.

“Enggak kok. Tadi aku tiba-tiba ngerasa mau cegukan,” ucap Oceana berbohong.

Sementara itu, Rensa hanya mengangguk dan segera mengenyahkan pemikiran buruk yang berkecamuk di otaknya. Ia pun ikut tersenyum walaupun hanya sepersekian detik, lantas mengambil selembar kertas berukuran 147 mm × 210 mm lagi.

“Kenapa kamu sukanya mubazir kertas sih, Ren?” tanya Oceana sambil mengambil selembar kertas yang telah penuh oleh padanan kata yang ditulis oleh teman sebangkunya.

“Setiap bersamamu, aku mendapatkan kebahagiaanku, aseek. Eh-eh, kertasnya kok diambil sih, Ren? Kan aku mau baca.”

Rensa menggeleng tegas, lantas melipat kertas itu sebelum memasukkannya ke dalam tasnya.

BEGINNING OF THE STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang