8 - Oceana Carissa Alviano

961 88 39
                                    

Matahari telah tenggelam di ufuk Barat. Meninggalkan sedikit sisa warna jingga yang perlahan mulai pudar dan tergantikan oleh gelapnya langit malam. Gadis berambut hitam legam itu kini sedang duduk di meja belajarnya sambil memandangi foto mendiang papanya. Sekilas, ia menampilkan senyum simpulnya sebelum akhirnya menghembuskan napas panjang dan memilih untuk membaca novel yang baru ia beli beberapa hari yang lalu.

Novel itu menceritakan bagaimana kisah kehidupan seorang anak yatim yang harus rela mati-matian berjualan demi mencukupi kebutuhan keluarga. Tokoh utama dalam novel itu bernama Hara-gadis berumur 14 tahun-yang memiliki seorang adik laki-laki bernama Bara. Kehidupan mereka sungguh menyayat hati seorang Rensa yang diam-diam meneteskan air matanya tatkala beberapa bab telah ia baca selama satu jam.

Ditutupnya novel itu, lantas ia memejamkan matanya perlahan. Dibiarkannya tetesan air matanya mengalir begitu saja, hingga kenangan bersama mendiang papanya kembali memenuhi otaknya-meminta untuk kembali diputar walaupun terasa menyakitkan.

"Papa, Rere mau beli es krim ituuu," ucap Rensa kecil sambil menarik ujung baju pria paruh baya di sampingnya itu.

Pria itu hanya tersenyum, lantas menggendong gadis berusia enam tahun itu dan menghampiri pedagang es krim keliling.

"Rere mau rasa apa?" tanyanya kepada putri kecilnya.

"Rere mau rasa cokelat sama vanila."

Pria paruh baya itupun lantas memesankan es krim dua rasa kepada sang pedagang. Tak perlu waktu lama untuk sang pedagang melayani Andi dan putri kecilnya. Andi pun menyodorkan selembar uang sepuluh ribu kepada sang pedagang es krim keliling itu sebelum kembali pulang menuju kediamannya.

"Papa, mana es krim Rere? Mau Rere makan sekarang hehehe," ucapnya sambil terkekeh-seakan tak memiliki beban-berbeda dengan sosok Rensa yang sekarang.

"Nah, ini. Habisin ya, Re. Nanti papa mau ajak Rere jalan-jalan beli komik. Mau?"

Mata gadis kecil itupun berbinar, lantas meloncat kegirangan. Ia berlari kepelukan sang ayah yang sedang berjongkok untuk menyamakan tinggi keduanya. Rensa pun memeluk Andi erat. Sangat erat.

"Udah-udah, Re. Sekarang, Rere makan ya, es krimnya? Papa mau mandi dulu."

Ia hanya mengangguk, lantas duduk di sofa sambil memakan kedua es krim kesukaannya.

Andai waktu bisa diulang, akan Rere peluk erat papa sampai papa nggak bisa kemana-mana..

Ia tersenyum getir mengingat kenangannya bersama Andi. Diusapnya bulir kristal yang berjatuhan dari kelopak matanya, lantas ia memutuskan untuk tidur segera.

Tidur itu adalah tempat terbaik sebagai pelarian atas kegundahan hati yang tak terobati..

Setelahnya, ia terlelap dan menampilkan seulas senyum pada bibir tipisnya.

***

Kringg.. kringg..

Ia mengerjap tatkala bunyi jam beker itu mengusik indra pendengarannya. Ia pun lantas beranjak dari tidurnya, dan beralih menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dan sebagai salah satu persiapan untuk pergi ke sekolah. Hanya butuh waktu lima belas menit hingga ia keluar dari kamar mandi dengan seragam yang telah melekat di tubuhnya. Ia pun beralih menuju meja rias dekat meja belajarnya, lantas menyisir rambutnya dan mengenakan jam tangannya.

Setelah dirasa penampilannya telah rapi dengan atribut sekolah yang lengkap, ia pun menyambar tas dan ponselnya sembarang sebelum turun ke bawah. Tampak telah berkumpul keluarganya di meja makan. Sementara itu, ia hanya mendekati mereka dengan pandangan datar seperti biasanya.

Linda dan Shaquille tersenyum ke arahnya, berbeda dengan David dan Chaca yang menampilkan raut wajah tidak suka. Gadis berambut hitam legam itu sekilas melirik mereka, lantas mendekat ke arah mamanya dan meminta izin dan doa restu untuknya. Lalu ia beralih ke papanya, dan hal yang dilakukannya pun sama, tak lupa ia menyalami keduanya.

Kali ini David sama sekali tidak menampilkan senyumannya. Ia justru menatap putri tirinya dengan tatapan dingin yang seolah Rensa adalah musuh terbesarnya. Rensa pun hanya mengabaikan tatapan dingin David, sebelum akhirnya ia berangkat ke sekolah tanpa sarapan.

Ada apa dengan David dan Chaca? Tumben sinis gitu ke gue. Batinnya.

Seperti biasa, ia berangkat sekolah dengan memesan grab. Ia memang sengaja menolak tawaran David untuk bersama walaupun sekolahnya dengan kedua saudara tirinya berbeda. Tak perlu waktu lama untuknya tiba di sekolah.

Tatkala ia tiba di sekolah, satu hal yang membuatnya tercengang adalah mengenai ospek. Ia lupa membawa topi dan papan namanya kemarin. Namun ia tetaplah Rensa yang akan bersikap masa bodoh kemudian.

Ia pun mengedikkan bahu sebelum memasuki gerbang SMA Regantara dan menuju ke kelasnya yang telah ditentukan seusai ospek hari pertama kemarin. X-IPS-1.

"Rensa," sapa seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingnya.

Kini gadis berambut hitam legam itu memang telah tiba di kelasnya yang cukup mewah dengan fasilitas yang lengkap. Ia sengaja duduk di bangku paling belakang karena dirasa itu adalah tempat strategis untuknya belajar nanti. Selain itu, ia juga tidak ingin mempunyai teman di sini.

"Hm, kok tau?" tanyanya dingin sambil menatap lawan bicaranya dengan pandangan datar.

"Tau dong. Kenalin, aku Oceana Carissa Alviano. Panggil Oce atau Oceana aja, oke? Aku boleh duduk di samping kamu, kan?"

Gadis bernama Oceana itu sangat manis jika diperhatikan dengan seksama. Rensa pun sedikit terpana karena paras Oceana yang manis dengan rambut sebahu dibiarkan tergerai begitu saja.

Selama sepersekian detik, gadis berwajah datar itu menimang-nimang jawaban yang tepat. Ingin sekali ia menyetujui, namun ia tak membutuhkan teman saat ini, lantaran ia ingin menyendiri.

"Boleh, ya? Siapa tau kita bisa jadi temen deket. Aku gapapa kok kalo kamu emang dingin sama aku," lanjutnya berusaha meyakinkan Rensa.

Ia pun memalingkan wajahnya berhadapan dengan Oceana. Dan saat itu juga, ia mengangguk tanda setuju. Sementara itu, Oceana senang bukan kepalang. Ia pun duduk dengan wajah cerianya.

Rensa, andai kamu tahu siapa aku sebenarnya..


To be continue.

© h e y z o r a

BEGINNING OF THE STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang