25 - Mendadak Amnesia

819 40 44
                                    

Baru sepersekian detik ia membuka matanya, ia dikejutkan oleh keadaan kamarnya yang berbeda. Dan tepat di saat yang bersamaan, gadis dengan rambut tergerai yang telah mengenakan seragam putih abu-abu memasuki kamarnya dengan wajah riang.

Morning, Rensa!”

Belum genap keterkejutan Rensa terobati, gadis itupun duduk di tepi ranjang Rensa, lantas mencubit pipi Rensa yang sedari tadi masih diam di tempat.

“Aw,” ringisnya.

Gadis itu terkekeh. Rensa pun bangkit dari ranjangnya, lantas berdiri dan mulai berjalan hingga ke ambang pintu kamar yang tadi dihuninya.

“Kenapa, Ren?” tanya gadis itu.

Ia tahu betul jikalau ada yang salah dengan Rensa. Ia seperti orang linglung yang baru saja diculik di negeri antah berantah.

“Kok aku bisa di sini, Ce? Sejak kapan?”

Gadis itupun mengernyitkan dahinya, lantas menghampiri sahabatnya itu dan memandanginya lekat.

“Kamu lupa?”

“Lupa apa?”

Gadis itupun menepuk jidatnya pelan. Ia sungguh tak menyangka bahwa sahabatnya ini mengalami amnesia sesaat. Namun bisa jadi amnesia itu terjadi karena kejadian hebat semalam.

“Kamu kenapa sih, Ce? Aku nanya barusan,” ucap Rensa dengan wajah datarnya.

“Semalam kamu pindah ke sini. Kamu lupa kalau semalam kamu pindah ke sini dianter banyak orang? Dan, ini rumahku, Ren. Masa kamu lupa?”

Rensa mengedikkan bahunya. Ia pun juga bingung akan apa yang ia alami barusan. Seperti fatamorgana.

“Yang aku ingat hanyalah kejadian yang terus berputar. Jalan raya, rumah sakit, desaku dulu, kota, dan juga kamu, Ce. Dan terakhir kali yang kuingat adalah, mama menikah lagi. Lalu aku bersekolah di sekolah yang kuinginkan. Selebihnya samar-samar,” jelasnya panjang lebar.

Oceana pun mengangguk paham. Untuk saat ini, ia sengaja tak mau mengingatkan Rensa tentang beberapa orang terdekatnya dan juga kejadian semalam. Jika ia berusaha mengingatkannya, maka sahabatnya pula akan mengingat kejadian pahit semalam. Namun jika tidak diingatkan, ia tahu betul itu akan menjadi suatu hal yang fatal.

Aku tak tahu apa yang terjadi denganmu, Ren. Tapi kuharap, kamu baik-baik saja.

***

“Baiklah anak-anak, kita akhiri dulu pelajaran pada pertemuan kali ini, dan kalian jangan lupa kumpulkan tugas yang ibu berikan tadi! Mengerti?”

“Mengerti bu!”

Pelajaran keempat baru saja usai hari ini. Rensa benar-benar tak dapat mengalihkan fokusnya untuk pelajaran sedikit saja. Sedari tadi ia dibuat bingung dengan seorang pria jangkung yang menyapanya.

Morning, sayangnya ketos. Apa kabar, hm?”

Rensa tak menjawab.

Ia bahkan melemparkan tatapan tajam ke arah orang yang menyapanya tadi. Oceana yang berada di sampingnya pun dengan segera memberikan penjelasan kepada sang empu yang diberi tatapan tajam oleh gadis berambut hitam legam itu.

“Kak, maafin Rensa, ya? Lagi amnesia dia. Dia lupa sama kak Devan juga deh, kayaknya,” ucap Oceana sambil berbisik di telinga sang ketua OSIS itu.

“Benarkah?” Kali ini gantian Devan yang berbisik di telinga Oceana.

“Benar, kak. Aku juga kaget tadi pagi. Tapi aku yakin kak, pasti bentar lagi dia inget kakak lagi. Kak Devan yang sabar, ya?”

Devan mengangguk.

Oceana pun melemparkan senyumnya dan kembali mendekat ke arah Rensa yang menatap mereka dengan wajah datarnya. Sementara itu, Devan hanya mengulas senyumnya sekilas sambil menghembuskan napasnya panjang. Ia pun lantas berbalik dan pergi meninggalkan kedua gadis berseragam putih abu-abu yang masih mematung di tempatnya berdiri.

“Oi, Ren. Jangan ngelamun! Udah istirahat, lhoo!”

Rensa terkejut.

Ia pun melayangkan tatapan tajam ke arah Oceana yang tanpa berdosa memasang wajah sok imutnya.

“Nggak usah sok imut, Ce. Oh ya, tadi pagi itu siapa, sih?” tanya Rensa penasaran.

Oceana pun terdiam selama sepersekian detik. Ia masih bimbang, apakah harus jujur kepada sahabatnya atau justru sebaliknya. Ia pun hanya bisa menampilkan senyumnya sekilas.

“Itu tadi namanya kak Devan Argadinata. Dia kakak kelas kita sekaligus ketua OSIS SMA Regantara. Dia juga pacar kamu, Ren. Masa kamu lupa?”

Rensa mengernyitkan dahinya. Kepalanya pun sedikit pening, namun ia tak mengingat dengan baik kapan ia menjadi kekasih orang yang bahkan ia tidak tahu siapa itu.

“Aku rasa kamu amnesia, Ren,” lanjutnya.

Rensa menggeleng. Ia tak sependapat dengan sahabatnya itu. Ia bahkan tak merasa baru saja melupakan sesuatu. Namun, bagaimana dengan ingatan yang samar?

“Apa yang kamu ingat, Ren? Coba cerita,” ucap Oceana yang merasa tak sabaran tatkala sahabatnya tak menjawab pertanyaannya.

“Yang aku ingat pertama kali adalah jalan raya. Kerumunan orang. Aku nggak tau apa tepatnya yang dikerumuni orang itu. Yang aku tau hanyalah orang-orang yang panik dan mengatakan kata ‘tolong’, ‘bawa ke rumah sakit’, dan ‘darah’,” jelasnya.

Oceana pun merasa ada yang janggal. Itu seperti potongan mimpinya dulu tatkala ia berusaha pulih dari amnesia beberapa tahun silam.

Apakah Rensa mengalami hal yang sama sepertiku? Tidak mungkin. Dia bukan aku, dan dia tidak apa-apa setahuku. Batinnya.

“Aku juga inget waktu di rumah sakit. Bentuknya masih kuno, nggak sebagus rumah sakit zaman sekarang. Ada seseorang yang melahirkan bayi kembar. Satunya nggak nangis. Dan tiba-tiba, bayi satunya menghilang.”

Deg.

Itu sama seperti mimpiku dulu. Tapi, bukankah aneh sekali jika Rensa langsung saja memimpikan hal yang sama namun mengalami amnesia? Padahal sebelumnya, ia tak apa. Jatuh pun tidak, apalagi kepalanya terbentur sesuatu. Batinnya lagi.

“Apa kamu tau hubungannya mimpiku dengan yang kamu tau tentang aku?”

To be continue

© h e y z o r a

BEGINNING OF THE STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang