2 - Rumah Baru

2K 185 110
                                    

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan megah tiga lantai berwarna putih dengan pagar tinggi berwarna cokelat. Ia membayar transport grab car tersebut sebelum keluar dan mulai menekan bel rumah itu. Tak berselang lama, pagar pun terbuka dengan menampilkan seorang pria setengah baya mengenakan seragam hitam dengan name tag bertuliskan ‘Anton.’

Pria setengah baya itu tersenyum, lantas mempersilakannya masuk. Baru beberapa langkah ia memasuki gerbang rumah itu, terlihat taman yang cukup luas di sebelah kanannya dengan satu bangku taman bercat putih dan juga ayunan bercat putih berada di sana. Sedikit tertegun, ia memandangi sekeliling dengan wajah datar, lantas pandangannya kembali tertuju kepada pria setengah baya itu.

“Pak, ini sebenarnya rumah siapa? Kok bapak tidak menanyai saya ada perlu apa kemari?” tanyanya.

“Ini rumah tuan David, nyonya Lista, nona Chareze, dan tuan muda Shaquille. Tapi sekarang ini menjadi rumah nyonya Linda dan nona Rensa juga,” jelasnya ramah.

“Mereka sudah sampai di sini, pak?”

“Sudah dari tadi no—”

“Panggil saya Rere saja. Saya tidak suka dipanggil nona,” ucapnya dingin sebelum melenggang pergi menuju pintu utama rumah itu.

Papa, maafin Rensa. Rensa tau Rensa salah, pa. Nggak seharusnya Rensa ke sini. Batinnya.

Dihembuskannya napasnya pelan, sebelum memberanikan diri mengetuk pintu berplitur itu dengan sedikit keras.

Tok.. tok.. tok..

Tak berselang lama, seorang gadis seumurannya membuka pintu dengan senyum ramah mengembang sempurna di bibir tipisnya. Namun yang hanya Rensa lakukan hanyalah diam sambil menatapnya datar. Tak ada sedikitpun niatnya untuk membalas senyuman manis itu, bahkan untuk menyapanya saja ia tak mau.

“Rensa, ya? Masuk, Re. Mama, papa sama kak Shaquille udah nunggu kamu dari tadi,” ucapnya dengan nada ramah dan riang.

Rensa hanya mengangguk, lantas tersenyum tipis sebelum ia menampilkan kembali wajah datarnya. Diikutinya orang yang ia yakini adalah saudari tirinya menuju ruang makan yang telah diisi oleh beberapa orang yang familiar baginya. Orang-orang yang mulai ia benci karena kebahagiaannya direnggut kambali.

“Maaf, Rensa terlambat,” ucapnya datar tatkala ia telah sempurna berdiri di hadapan mereka.

“Nggak apa-apa sayang. Yuk, duduk. Kita makan sama-sama,” ucap Linda kepada putrinya sambil mengambilkan nasi dan lauk pauk yang sekiranya disukai oleh putrinya.

“Ren, lo nggak pake make up tadi?” tanya seorang pria yang umurnya sekitar beberapa tahun di atasnya. Dia Shaquille Revano Farren—saudara tirinya.

“Enggak.”

“Biasanya juga cewek suka dandan.”

“Gue beda.”

“Beda gimana? Lu kan cewek.”

“Nggak suka make-up.”

Semua pertanyaan saudara tirinya ia jawab sedatar mungkin, hingga keadaan canggung mulai terasa melingkupi mereka. Shaquille sendiri merasa bersalah, karena menanyai Rensa hal-hal yang sekiranya tidak penting bagi Rensa.

Sementara itu, Rensa hanya melahap makanannya dengan wajah datar namun cepat. Tak dibiarkannya ia makan terlalu lama bersama mereka.

“Ma, Rensa mau pulang dulu, ya? Mana kuncinya, ma?” tanya Rensa tatkala ia telah menghabiskan makanannya.

“Lho? Sudah habis? Cepet banget kamu—”

“Mama. Rensa mau pulang. Rensa minta kunci.”

Linda hanya menghembuskan napasnya panjang, lantas menyentuh kedua bahu putrinya.

“Rensa, sekarang kita tinggal di sini. Kamar kamu ada di lantai dua dekat kamar kak Shaquille,” jelas Linda yang sukses membuat Rensa terkejut.

“Ma, tapi Rensa mau pulang aja,” ucapnya lirih.

Ditundukkannya kepalanya dalam, lantas kembali mendongak dengan senyum yang ia kulum sebagai penanda bahwa ia akan tersiksa jika dipaksa tinggal di sini. Namun Linda sama keras kepalanya dengan putrinya, dan mau tak mau, Rensa harus menuruti titah Linda yang notabenya tidak bisa diganggu gugat.

“Shaquille, antar adikmu ke kamarnya,” ucap David berusaha menengahi.

Sang empu yang dititah pun hanya mengangguk, lantas mendekat Rensa dan mengajaknya ke lantai atas tepat kamarnya berada.

“Rensa, ini kamar lo. Kamar gue tepat ada di samping kamar lo. Terus, kamarnya si Chaca ada di lantai tiga,” ucap Shaquille setibanya mereka di depan kamar baru Rensa.

“Gue harus panggil lo apa?” tanyanya.

“Kak Shaquille aja.”

“Nggak mau.”

“Kenapa?”

“Shaquille artinya tampan. Sedangkan lo biasa aja.”

Shaquille yang mendengarnya pun tertawa keras hingga membuat Rensa keheranan. Sementara itu, Rensa hanya diam dengan wajah datar yang selalu setia menemaninya.

“Kalau gue b aja, kenapa yang suka gue di sekolah banyak?”

Rensa hanya mengedikkan bahu, lantas berlalu dan mulai memasuki kamar barunya dengan wajah datar dan sorot mata yang mulai terlihat sendu.

Dan benar saja. Setibanya ia di kamarnya, ia menangis sejadi-jadinya. Dituangkannya segala kekesalannya, dan dilampiaskannya pada lantai di bawahnya. Ia memukul-mukul lantai sangat keras, hingga rasanya tangannya mati rasa. Namun semua itu tak dihiraukannya, dan ia kembali melakukan aktivitas itu hingga ia terlelap dengan sendirinya.

To be continue.

© h e y z o r a

BEGINNING OF THE STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang