19 - Alghaz Resto

730 53 9
                                    

Mereka tiba di Alghaz resto setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit. Shaquille pun segera memarkirkan motornya, lantas menggandeng tangan Rensa menuju pintu masuk Alghaz resto.

Baru saja mereka menginjakkan kakinya di pintu masuk, mereka telah disambut ramah oleh para pegawai di sana. Selain itu, design interior Alghaz resto sangat kontras dengan kota ini. Dan kali ini Alghaz resto mengusung tema bunga.

Di Alghaz resto sendiri terdapat beberapa bagian ruangan. Yaitu ruangan indoor dan outdoor. Ruang indoor sendiripun terletak di lantai satu dan dua, sedang ruang outdoor terletak di taman belakang dan rooftop.

Awalnya Rensa meminta Shaquille untuk berada di ruang indoor saja, namun Shaquille menolaknya. Ia pun mengajak Rensa menuju rooftop dengan masih menggandeng tangannya. Rensa pun hanya setuju dan terus mengikuti kemana langkah kaki Shaquille membawanya.

"Kak, kenapa pesan tempat di rooftop? Bukannya di sini lebih mahal?" tanya Rensa setelah mereka duduk di meja nomor 16.

"Gue pengennya di sini, dek. Seger, bisa lihat pemandangan kota juga," jawab Shaquille sambil menunjuk ke arah kota dari atas sini.

Rensa berdecak kagum. Baru kali ini ia melihat pemandangan kota dari rooftop. Semuanya seakan terlihat kecil, dan lampu-lampu gedung pencakar langit serta kendaraan pun bak bintang-bintang yang mengisi gelapnya kota.

Shaquille pun memanggil waitress, lantas sang waitress pun segera menuju meja mereka sambil menyodorkan buku menu.

"Ini kak, silakan," ucap waitress ber-nametag Riana kepada Shaquille.

Pria jangkung itupun hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, lantas pandangannya tertuju pada gadis di hadapannya yang sedang asyik melihat pemandangan kota.

"Dek, mau makan apa?"

Pandangan Rensa pun teralihkan. Dilihatnya daftar menu yang disertai dengan harganya, lantas menggeleng sambil tersenyum tipis kepada kakaknya itu.

"Gu-gue ikut lo aja, kak."

Shaquille pun mengangguk paham. Lantas ia memilih beberapa menu yang tertera di sana.

"Mbak, ayam bakarnya dua, gurame bakarnya satu, paket burger yang big satu, sama americano dua," ucap Shaquille sambil menyerahkan kembali daftar menu itu kepada waitress.

"Baik kak, tunggu sebentar ya, " ucap waitress itu ramah yang hanya dijawab oleh anggukan sekilas Shaquille.

Ngapain sih kak Shaquille pake acara sok cool di resto? Batin Rensa sambil menatap kakaknya itu dengan pandangan datar.

"Kenapa, Ren?"

Rensa yang kecolongan pun hanya menggeleng dan pura-pura tidak tahu. Ia memalingkan wajahnya dan kembali menatap kota dari rooftop Alghaz resto.

"Rensa."

Sang empu yang merasa terpanggil namanya pun menoleh.

"Kenapa lu liatinnya gitu banget, sih? Emang bagus banget, ya?"

Rensa mengangguk sambil mengulas senyumnya sekilas. Ia pun kembali mengalihkan pandangannya, dan lagi-lagi menatap pemandangan kota yang menurutnya sangat indah.

"Lo nggak pernah lihat kek gini, ya?"

Rensa menggeleng. Dan kali ini ia masih memfokuskan pandangannya ke arah jalanan dari atas.

"Gue pernah lihat pemandangan kota saat malam dulu. Ini adalah kali keduanya gue lihat. Nggak tau kenapa gue seneng banget waktu lihat pemandangan kek gini. Karena mungkin gue mengira dari atas sini, gue bisa melihat kenangan-kenangan berharga gue dulu," jelas Rensa.

Shaquille tertegun atas penjelasan Rensa. Ia tidak menyangka bahwa Rensa memiliki sisi terbuka kepada orang tertentu yang dekat dengannya.

"Kenangan seperti apa, Ren?"

Rensa pun mengalihkan pandangannya. Ia menatap Shaquille dengan lembut, berbeda dari biasanya yang menatap Shaquille dengan pandangan datar. Dan hal itu sukses membuat Shaquille kembali tertegun.

"Waktu kecil, gue sama papa pernah buat rumah pohon dulu waktu kita masih di desa. Waktu itu kira-kira gue masih TK. Setelah rumah pohon jadi, papa ngajak gue ke atas. Waktu gue naik, gue nangis kejer.

"Kata papa, gue phobia ketinggian. Papa pun memutuskan untuk gendong gue dan nutupin mata gue. Waktu kita udah sampai di atas, gue seneng banget liat desa gue dari atas. Bener-bener indah walaupun nggak sekeren ini karena banyaknya lampu.

"Dulu di desa, lampu itu masih jarang. Kebanyakan lampu remang-remang yang watt-nya nggak segede di kota. Walaupun begitu, tetep aja masih kelihatan dan bagi gue itu indah.

"Papa selalu cerita ke gue waktu itu. Kalau kita udah jadi orang yang di atas, jangan sekali-kali sombong dan semena-mena dengan orang yang di bawah kita. Kita harus ingat jika kita juga bagian dari mereka. Hanya saja kita lebih beruntung nasibnya setelah bekerja keras dan usaha.

"Kalau lagi kayak gini, gue keinget papa. Rasanya baru kemarin gue duduk di rumah pohon bareng papa. Tapi lagi-lagi kenyataan nampar keras diri gue."

Shaquille terdiam mendengar cerita Rensa. Ia baru tahu sisi lain adik tirinya ini yang ternyata tak sedingin yang ia kira. Ia pun baru tahu jika Rensa ini adalah anak yang dididik dengan petuah-petuah oleh mendiang papanya.

"Hidup lo kayak seru gitu ya, Ren?" ucap Shaquille mulai menimpali.

"Iya, hidup gue seru. Tapi itu dulu. Sekarang hidup gue hancur dan hanya kegelapan tanpa ada jalan yang bercahaya di sana."

Deg.

Apa mungkin karena papa nikah sama mama Linda dia jadi kayak gini? Atau mungkin karena kerasnya papa ke dia?

"Gue pengen hidup gue yang dulu lagi, kak. Gue kangen papa Andi. Gue benci mama Linda, papa David dan Chaca. Dan gue harap, lo nggak akan pernah buat gue benci lo "

Tanpa sadar air matanya jatuh perlahan. Dan itu sungguh seperti mengiris hati Shaquille. Pria jangkung itu sangat lemah tatkala orang yang ia sayang menitikkan air mata kesedihan. Dan ia paham betul jika selama ini Rensa memendam semua itu sendiri.

"Hei, jangan nangis. Lo harus ceria. Gue suka lihat kepribadian lo yang kayak gini. Apa adanya."

Shaquille pun mengusap pelan air mata adiknya, lantas tersenyum dan mengacak pelan rambut sebahu adiknya itu.

"Ih, kak! Kasian rambut gue!" ucap Rensa tak terima.

"Makanya, jangan sedih mulu. Ntar kita foto yuk, di lantai bawah? Ada bunga-bunga bagus di sana. Kebetulan gue bawa kamera," ucap Shaquille berusaha menghibur adiknya.

Semoga Rensa bisa senyum lagi. Gue mau lihat Rensa yang lembut dengan senyum manisnya itu. Gue janji, Ren. Gue nggak akan buat lo benci gue. Batinnya.

Rensa pun tampak berpikir. Lantas ia mengangguk dengan antusias. Shaquille pun tersenyum, begitupun Rensa. Dan tak berselang lama, pesanan mereka pun tiba.

"Ini pesanannya, kak. Selamat makan!," ucap waitress tadi yang sudah kembali dengan nampan penuh makanan dan minuman.

"Kak, lo waras pesen segini banyaknya?!"

Shaquille pun langsung membekap mulut adiknya yang baru saja berseru dengan penuh keterkejutan. Mereka pun kini menjadi sorotan seluruh pasang mata yang ada di sana. Dan itu membuat Shaquille hanya bisa menghembuskan napasnya pelan.

"Punya adek kok kek gini, sih?"

To be continue.

© h e y z o r a

BEGINNING OF THE STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang