1. Serangan Batin

9.8K 262 12
                                    

Sore nanti aku akan pulang ke Bandung, menemui sanak saudara yang katanya sudah lama kangen namun tidak pernah sehari pun datang dan menemui aku di Jakarta. Padahal tidak begitu jauh kalau mereka mau, nyatanya memang kata 'kangen' ini sekadar basa-basi saja.

   Memangnya tidak tahu, ya? Aku kan sedang fokus mengambil banyak sertifikat untuk mengejar beasiswa. Padahal sudah sering aku sengaja hanya show story WhatsApp untuk mereka agar mereka sadar betapa sibuknya keponakan mereka dengan IQ tertinggi di antara anak-anak mereka ini!

     Bahkan dengan tidak tahu malunya mereka kemarin memaksaku untuk datang ke Bandung dan menginap sebentar. Dengan dalih sangat 'kangen' dan ingin berkumpul lengkap dengan sanak saudara mereka memaksaku, bahkan ketika aku berdalih sibuk mengurus dokumen beasiswa mereka bersikeras memaksa aku untuk datang dengan tambahan dalih untuk refreshing.

   Yah, mereka bukannya salah sih hanya saja kurang tepat dalam memilih waktu. Karena Mami sedang sakit dan Kakak sedang persiapan sidang skripsi. Mau tidak mau aku harus datang ke pertemuan keluarga penuh topeng engap dan tawa palsu. Bahkan mereka pastinya akan menertawai aku yang masih single sampai sekarang.

   Memang apa salahnya single? Toh, aku kan sedang sibuk buat pendidikan. Emangnya aku sama seperti seperti sepupu-sepupuku yang genit dan senang memangsa laki-laki? Kan tidak. Aku sedang fokus mengejar karir dan pendidikan, setidaknya tidak boleh mengulang apa yang terjadi dengan Mami berpuluh tahun yang lalu.

   Tapi tidak apa deh, aku sedang butuh hiburan. Toh sudah menjadi tradisi, kalau ada aku dan ada sepupuku, Kansa sudah pasti menjadi sebuah tanah di sebelah emas sepertiku. Bukannya mengejek atau terlalu sombong, usia kami hanya terpaut empat bulan namun ada banyak sekali perbedaan antara kami. Aku lebih cantik, lebih putih dan lebih bersih, aku lebih pintar dan selalu berprestasi, aku bisa menjaga tata krama jauh lebih baik dari Kansa. Ya jelas, aku kan bukan bopung kaya dia!

   "Eleuh eleuh, Neng Nissa makin cakep aja! Teu boga oleh-oleh neng?" Sambut Tante Titin, anak sulung dari enam bersaudara.

   "Maaf Tan, ga sempet beli tadi buru-buru ngejer Bis..." Aku menjawab sesopan mungkin, sembari mengedarkan pandangan ke seluruh arah memperhatikan rumah megah yang diwariskan nenek kepada enam anaknya namun pada akhirnya hanya ditempati Tante Titin.

   "Hehe bercanda! Ayo masuk, yang lain udah pada ngumpul loh!" Tante Titin segera menuntun tanganku pelan, aku bisa merasakan tangannya yang sudah kasar bergesekan dengan tanganku yang belum lama ini memakai handcream.

   "Mba Nissa!" Sapa Dian, adik sepupuku yang paling kecil.

   Dian segera berlari ke arahku, memeluk pinggangku dan bergelayut bebas. Aku mengelus kepala pelan dan tersenyum ramah. Sebenarnya aku tidak suka anak kecil, tapi Dian bisa jadi pengecualian.

   "Kak Nissa, bawa oleh-oleh gak?" Tanya Riska, Adik sepupu perempuan termuda ke-2 setelah Dian. Dia kakaknya Dian hanya berbeda tiga tahun dariku.

   "Aduh, baru dateng udah disambut gitu aja! Gak nanya kabar dulu, gitu?" Jawabku setengah bercanda.

   "Alah! Tadi Tante tanya juga gak Neng Nissa jawab, kok!" Kata Tante Titin menyahut setelah meminta Kak Arya memasukan tasku ke kamar.

   "Aih, lupa Tan! Baik kok, baik banget."

   "Tahun ini udah masuk kuliah belum?" Tanya Tante Euis, mamanya Dian dan Riska.

   "Tahun depan Tan, tahun ini pelatihan bahasa soalnya dapet beasiswa." Jawabku, jujur saja, penuh bangga.

   "Heeeh?" Satu ruangan tampak terkejut, puas rasanya.

   Aku segera mengedarkan pandangan mencari Kansa, setahuku ia mendapat nilai yang cukup buruk di Ujian Nasional kemarin. Impiannya untuk kuliah bahkan di universitas lokal pun sepertinya tidak akan terkejar. Terakhir kali bertemu pun tubuhnya seperti tak terurus, kulitnya kusam dan rambutnya bercabang tak terawat. Kantung matanya tebal menjadi pemandangan utama wajahnya.

Ninetynine of Hundred Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang