Sampai di rumah jam tiga malam, sebenarnya jam setengah tiga alias dua lewat tiga puluh menit namun karena aku tertidur dan BAPAK yang satu ini berdalih tidak tega membangunkanku kini aku harus membalas hutang budinya sudah meminjamkan aku mobilnya untuk tidur selama setengah jam!
Setelah membuka pintu aku segera memasuki rumah begitu santainya一nyaris lupa ada Pak Arden一aku segera membalikkan badan untuk menyuruhnya masuk dan duduk dulu namun saat aku sadari ia sudah duduk dengan santai melonggarkan kancing tangan kemejanya.
Ya ampun, Pak! Iya, saya mau bilang anggap saja rumah sendiri tapi bukan seleluasa ini.
"Bapak mau minum apa?" Tanyaku padanya sedikit berharap ia akan menolak dan segera pergi dari sini.
"Sesanggup kamu nyediain aja," Beliau tampak acuh tak acuh, iya Pak! Saya miskinnya sampe ke tulang sumsum ga perlu diingatkan juga kali.
Aku manggut-manggut santai, berjalan menuju dapur dengan sedikit lambat. Sebenarnya karena aku sangat lelah, setelah perjalanan lama di mobil tubuhku pegal-pegal apalagi setiap kali aku menyenderkan kepala di pintu selalu saja ada guncangan yang tak diundang. Akhirnya aku harus tidur dengan menopang daguku, jelas pegal.
Mungkin saking ngantuknya aku, aku tidak fokus pada gelas yang aku raih. Nyaris saja gelas beling berkaki satu kesayangan Mami aku jatuhkan, kalau saja tangan Pak Arden tak segera menangkap tanganku dengan sigap. Dalam sekejap kedua mataku tidak lagi terasa berat, malah heran dengan om-om yang satu ini.
"Kamu gapapa!?" Serius? Bapak sepanik ini? Astaga, ini cuman gelas, Pak!
Saya gak bakal sampe kanker stadium akhir hanya karena menjatuhkan gelas, kok. Paling gendang telinga pecah karena ocehan Mami.
"Iya, Pak.. cuman kurang fokus aja tadi, maaf..."
Aku segera menarik tanganku kembali, menjaga jarak dari Pak Arden. Jelas! Mana sudi aku berdekatan dengan om-om yang belum jelas asal-usulnya一maksudku, ya, dia memang kaya raya, tampan, (cukup) baik pula namun selain sikap yang ia tunjukan padaku aku tidak mengenal beliau.
Pak Arden menghela napas panjang, ia meletakan kembali gelas tadi ke rak gelas dan menuntun tanganku menuju sofa. Aku mau tak mau menurutinya, yah... menjilat ludah sendiri memang padahal beberapa waktu yang lalu aku menyindirnya dalam hati mengenai asal-usul om-om ini dan sekarang aku dengan pasrah mengikutinya.
"Kamu gak kaget?" Tanya Pak Arden masih tidak menatap kedua mataku dan hanya sekadar memunggungiku.
"Enggak, Pak," Enggak salah lagi kaget dengan perlakuan Bapak! Bisa-bisa jantung sama pankreas tuker posisi, lho.
"Lain kali kamu harus hati-hati," Pak Arden menyuruhku duduk di sofa, sementara tangannya masih menggnggam tanganku一bahkan lebih erat一"coba tadi jatoh, pecah, kamu lagi panik dan gak sengaja injek belingnya?"
Ya ampun Bapak, memangnya Bapak itu Bapakku? Maksudku, Ayahku! Pakai mengatur-ngatur segala, memang ya yang namanya jiwa om-om tukang ngatur itu tidak mungkin tidak ada.
"Iya, Pak..." Iya saya sudi sekali kaki saya kena beling dan Bapak merasa kasihan dengan cara segera kembali ke habitat Bapak!
"Kalau kaki kamu infeksi karena beling atau lantainya gimana?"
Ini maksudnya Bapak menghina gelas dan lantai saya yang kotor atau bagaimana?
"Iya, Pak, maaf..." Aku memalingkan pandangan ke arah lain.
Jujur saja, saat ini aku...
"Pak, bisa tolong lepas tangan saya gak?"
Merasa luar biasa pegal!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ninetynine of Hundred
Teen FictionKalau Adine adalah orang yang hidup didunianya sendiri, maka Arden adalah orang yang terobsesi dengan dunia itu. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Tuntutan pernikahan dari keluarga besar dengan pemikiran primitif, membuat Adine Issabella Lim semakin pusing p...