13. Raden....?

2.1K 143 5
                                    

"Saya mau nyapa kolega kerja saya disana, kamu mau nemenin saya?" Tanya Pak Arden yang tengah membawakan tas putihku selagi aku menikmati tekwan yang disediakan.

     Lantas aku segera menggeleng mantap. Enak saja, bisa-bisa Bapak menyebarkan cerita yang aneh-aneh lagi kalau saya ada di dekat Bapak. Lebih baik duduk disini dan maka tekwan atau sesekali ganti dengan pempek.

     "Ya udah, ini tasnya kamu liatin. Nanti ilang." Begitu pesan terakhir beliau sebelum akhirnya melangkah pergi untuk menemui kolega kerjanya. Haduh, tipikal Bapak-Bapak sekali bukan? Kerjaannya memberi nasihat yang sudah jelas.

    Namun aku tetap tidak mempedulikannya. Aku kian fokus dengan semangkuk tekwanku yang lengkap dengan bengkoang, jamur, dan kawan-kawan tekwan lainnya. Dengar-dengar yang bertugas masak itu Tante Euis, Tante Euis memang juaranya soal masak-masak begini. Kalau aku nikah kepala kokinya Tante Euis saja kali, yah?

     Sebenarnya aku sudah menambah dua kali, namun tekwan ini rasanya terlalu sedap untuk disia-siakan. Terutama aku jadi lumayan kekurangan gizi setelah berbulan-bulan fokus dengan beasiswa ini. Oh, iya! Aku sudah selesai mengurus VISA kini tinggal beberapa pelatihan kebudayaan sebelum akhirnya... pergi ke Inggris.

   Sembari menyendok tekwan ke mangkuk, aku sedikit merefleksikan beberapa kejadian luar biasa selama beberapa bulan ini. Mamih jatuh sakit, Kansa bertunangan, Kakak sebentar lagi lulus S2, kemudian bertemu Pak Arden. Mungkin terdengar sederhana namun pertemuanku dengan kejadian-kejadian itu membuatku sedikit sadar kalau memang benar adanya, meninggalkan mereka semua sungguh sulit.

     Aku sudah kembali dari bagian prasmanan, tengah duduk yang dilanjut dengan lamunan sekaligus kegiatan menyendok tekwan ke dalam mulut. Terlintas dipikiranku soal Pak Arden, dan sikap aneh beliau terhadapku yang kerap kali buat aku merasa aneh... aneh? Tiba-tiba saja aku teringat soal tas putihku. Aku menengok secepat kilat ke tempat duduk di sebelah kiriku dan mendapati kursi tersebut kosong. Lantas dengan keadaan mangkuk masih ada dua tekwan tersisa, aku meninggalkannya di atas kursi kemudian berjalan cepat tanpa tujuan.

     Namun langkah kakiku mengarah ke rumah Tante Titin, aku segera masuk kemudian dengan sopan mengucap, "Assalamualaikum." Yang dengan sopan pula dijawab oleh orang-orang di dalam rumah.

     "Kenapa Nis, kok panik gitu?" Tanya Tante Titin yang hendak membawakan nampan berisi semangka yang sudah dipotong-potong.

    "Tan, liat tas kulit warna putih gak?" Tanyaku dengan nada yang sepertinya terdengar panik.

    "Waduh, enggak, emang kamu taro mana?" Tante Titin kemudian menyerahkan nampannya ke salah satu gadis yang hendak keluar. "Isinya ada apa aja emang?"

    "Ada hp, dompet, dompetnya itu isinya penting-penting semua, sama sarung tangan gitulah," jawabku gemetaran, "aduh, gimana ni Tan一"

     "Assalamualaikum." Salam seorang pemuda yang tingginya nyaris sama dengan Pak Arden, intinya jauh lebih tinggi dariku. Ia kemudian salim dengan Tante Titin, sepertinya memperhatikan kepanikan wajahku ia bertanya, "Kenapa Tan?"

    "Ini ponakan Tante, Nissa, katanya tas dia ilang." Jawab Tante Titin dengan nada sedikit nyinyir.

     "Oh, ilang dimana emangnya?"

     Haduh, kalau tahu juga udah aku ambil kali!

    "Tasnya emang kayak gimana?" Kemudian aku menjelaskan ciri-ciri tasku dan isinya, ia mengangguk paham kemudian maju satu langkah ke arahku.

     "Mau gua bantu cari? Ayo ke tempat lo kehilangan tas." Aku mengangguk kemudian mengikuti pemuda itu menuju tempat dudukku dan Pak Arden barusan, disana kosong dan betul-betul tidak ada tanda-tanda kehadiran tasku.

Ninetynine of Hundred Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang