16. Jatuh

2.1K 193 9
                                    

Saat aku memasuki gedung utama Forcams, Kakak sudah berdiri sembari melipat kedua tangan di depan dada. Ia tampak kesal, tidak senang saat melihatku. Aku hanya bisa membalsnya dengan senyuman kikuk serta permintaan maaf dalam hati.

    "Enak banget ya kalian pacaran gua sendirian di dalem." Ujar Kakak yang nada bicaranya dipenuhi kekesalan, aku lagi-lagi hanya membalasnya dengan senyuman kikuk.

    Berbeda denganku, Aldi malah tampak sangat ramah dan senang saat bertemu dengan Kakak. Ia sedikit menunduk sesaat, kemudian dengan sangat sopan, "Maaf, Nissanya gua pinjem dulu tadi, Kak." Kakak hanya membalasnya dengan memutar kedua bola matanya.

    Ia berjalan memasuki gedung melalui pintu kaca yang otomatis terbuka oleh sensor, dari belakang aku dan Aldi mengikutinya. Aldi tampak sedikit bingung, namun aku sendiri tidak ada niatan untuk menjelaskan apapun padanya. Aku tiba-tiba jadi tidak semangat soal masalah Raden dan Kansa... uh...

     Kakak berjalan menuju lift dan menekan tombol ke bawah, aku hendak bertanya namun segera Kakak selak dengan, "udah, pertanyaannya disimpen dulu." Begitu katanya yang disambung dengan tatapan kebingungan Aldi. Oh, ayolah Aldi! Aku sendiri juga sedang kebingungan.

     ---

Aku betul-betul kehabisan kata-kata. Seorang lelaki muda yang masih berkepala dua, berparas cukup tampan, persis seperti sosok yang aku temui beberapa waktu yang lalu. Namun, kali ini ia tidak menampakkan sedikitpun karisma yang sama seperti dulu. Lebih tepatnya kali ini Raden tampak seperti pecundang daripada pemuda sukses.

     "Lho-" Aldi sendiri tampak terkejut, ia tampaknya tidak tahu harus menanggapi apa disituasi seperti ini.

     Kakak menghela napas panjang, ia meletakan tangannya di atas meja kemudian mentitik pusatkan beban tubuhnya pada tangannya. Dengan nada yang luar biasa kecewa Kakak berkata, "Ayo kenalin diri lo dengan jelas."

     Mendengar kata-kata Kakak, Raden hanya menunduk. Tubuhnya gemetaran dan ekspresi wajahnya sulit untukku jelaskan. Intinya ia begitu ketakutan, dan... panik?

     "Aldi, kamu kok gak pernah cerita soal Raden?" Tanya pada Aldi, Aldi hanya mengangkat kedua pundaknya tidak tahu.

     "Gua aja gak tahu, gua baru magang geulis, belum lama pula." Jawaban Aldi memang masuk akal, lantas buat apa Aldi diam saja ketika yang menjadi tunangan Kansa itu... kepala OB?

     Yah, pada akhirnya mau tidak mau Kansa harus menerima kenyataan ini bukan? Pada akhirnya ia akan tetap kalah dariku. Tidak ada disejarah manapun Kansa akan lebih dari Nissa, Nissa tidak akan pernah kalah... ya, kan?

     Brak!

     Kakak memukul meja, dengan ekspresi penuh amarah dan nada emosi ia mengulangi perkataannya, "Kenalin diri lo dengan jelas!"

     "Kak Raden, kalau seandainya Anda bisa lebih jujur ini semua enggak akan terjadi," kataku, "coba kenalkan diri Anda yang betul."

     "Maaf, tolong jangan kasih tahu-"

     "Jangan kasih tahu gimana!" Selak Kakak penuh emosi, "Lo beraninya nipu adek sepupu gua yang tahun ini baru sembilan belas tahun, masih muda! Dan lo om-om dua puluh enam tahun beraninya dateng-dateng ngelamar dia dan banyak omong soal kerjaan lo yang ga nyata? Malu gua!"

     Kakak memang memiliki masalah dengan emosinya. Melihat wajahnya yang sampai merah begini pasti Kakak sangat emosi... tapi Kakak emosi karena Kansa. Bukan karena aku. Aku kesal, aku kesal karena Kakak marah untuk seseorang seperti Kansa. Aku tidak suka ini.

Ninetynine of Hundred Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang