Kansa bangkit berdiri penuh emosi, ia berjalan dengan melangkahkan kaki dengan kasar dan melewati kehebohan di ruangan begitu saja. Tante Euis dan para Om menggotong tubuh Tante Titin menuju kamar dan Riska mencoba untuk menghubungi ambulan atas arahan Tante Euis yang tengah panik. Tante Titin memiliki riwayat penyakit jantung, hal seperti ini patut diwaspadai.
Pak Arden tengah menggenggam kedua lenganku, kemudian dengan lembut ia membantuku untuk berdiri. Aku berdiri dengan perlahan, dengan bantuan dinding dan satu tangan menumpu beban tubuhku. Tubuhku masih gemetaran, aku tahu aku tidak salah namun terbesit rasa bersalah yang mendalam.
Apakah aku salah?
Apa seharusnya aku diam saja?
Apa... apa aku baru saja menghancurkan kehidupan orang lain?
Mungkin aku hanya bisa mengacau.
"Adine!" Seru Pak Arden melihatku melamun tidak tenang, "Kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri oke? Kamu tidak salah."
Aku mengangguk pelan, tak lama aku menyadari bahwa Pak Arden sudah memunguti barang-barangku yang ada di lantai. Kemudian menuntunku keluar, tanpa menghiraukan kekacauan yang ada di dalam. Seandainya aku mengetahui semua ini, dan tidak ada Pak Arden disisiku apakah aku bisa langsung pergi dengan punggung tegak begini? Yang pasti aku mungkin tidak akan sanggup sejak awal untuk memberitahukan kebenaran ini.
Aku, aku yakin aku tidak salah. Coba saja bayangkan ada seorang pria tak bertanggung jawab yang mau menikahimu untuk anak yang nantinya akan dikorbankan?
Oke, mungkin dikorbankan adalah bahasa yang terlalu berlebihan. Namun tidak ada yang mungkin mau melakukan hal sebodoh itu, kan? Terjebak dalam perangkap pria bejat yang penuh kebohongan. Baik dari sisi mana pun, perbuatan Raden salah dan tidak sebaiknya dilanjutkan.
Aku tidak salah. Aku melakukan kebenaran.
Tapi kenapa mataku rasanya panas? Aku tidak boleh menangis di hadapan orang lain. Aku tidak boleh terlihat lemah. Bagaimana jika Pak Arden berpikir aku terlalu lemah untuk belajar ke Inggris? Padahal saat wawancara aku begitu percaya diri bahwa aku adalah pribadi yang kuat, aku tidak boleh menangisi hal yang sederhana seperti ini.
"Tidak masalah, kalau kamu mau nangis ya menangis saja." Ucap Pak Arden seolah-olah bisa membaca pikiranku.
Aku menggeleng pelan, "Enggak, saya enggak... mau nangis...."
Ia membantuku duduk ke dalam mobil, kemudian menutup pintu dengan pelan. Ia berjalan menuju tempat duduknya, kemudian meraih selembar tissue dari tempat tissue yang letaknya sedikit tersembunyi.
"Saya memang tidak punya sapu tangan yang romantis seperti tokoh novel, tapi setidaknya kalau kamu menangis, saya akan ada untuk kamu lebih dari tokoh mana pun." Begitu kata Pak Arden, yang aku sambut dengan sedikit senyuman geli namun tak lama segera hancur dengan air mataku yang menggelinang tak bisa aku kontrol.
Ia memelukku, mendekapku dalam dekapannya yang hangat. Aroma mobil yang menyengat menusuk penciumanku, namun ketika aku berada dalam dekapannya aku bisa mencium aroma parfumnya yang lembut dan menenangkan. Aroma parfum yang berpadu dengan keringatnya, yang barangkali beliau juga panik karena sudah ikut campur masalah orang lain, namun pada akhirnya beliau tetap berdiri untukku.
Saat aku hendak menjauhkan wajahku, takut mengotori pakaiannya, ia malah mendekapku semakin kuat. Tangannya yang besar mengelus rambutku yang acak-acakan pelan, tangannya yang satunya menepuk-nepuk pundakku penuh perhatian. Sementara, akhirnya aku mengalah dan kedua tanganku membalas pelukannya. Sesekali aku membersit-dan jadi merasa bersalah, bisa-bisanya aku merasa jijik pada air mata dan ingus Evyna, ketika Ayahnya di sini memelukku tanpa ragu padahal keadaanku sedang sangat kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ninetynine of Hundred
Roman pour AdolescentsKalau Adine adalah orang yang hidup didunianya sendiri, maka Arden adalah orang yang terobsesi dengan dunia itu. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Tuntutan pernikahan dari keluarga besar dengan pemikiran primitif, membuat Adine Issabella Lim semakin pusing p...