Ketika aku dan Pak Arden tiba, para tante menyambut dengan sangat ramah. Terutama saat Pak Arden memberikan buah tangan yang sudah kami telaah dengan hati-hati sejak kemarin, tante Euis tampak begitu sumringah karena akhirnya mendapatkan terasi yang sudah lama ia idam-idamkan. Di sisi lain, tante Titin tampak tidak tenang, karena di antara para sanak keluarga yang hari ini berkumpul hanya beliau lah yang mengetahui maksud dan tujuan kami datang.
Aku segera menyuruh Pak Arden untuk berkumpul bersama dengan om-om dan Kakak sepupuku yang laki-laki, sementara aku akan berbicara sebentar dengan tante Titin di belakang. Ekspresi wajahnya sungguh tidak tenang, dan tangannya yang gemetaran menunjukan kekhawatirannya. Aku menuntun beliau ke belakang dengan pelan, sesekali tanganku menepuk-nepuk punggungnya.
"Ayo duduk dulu, tan." Kataku seraya membantunya duduk.
"Nissa, kamu serius?" Tanya tante Titin masih tidak percaya, "memang Raden kelihatannya sungguh meyakinkan, dan seperti anak baik-baik... mana mungkin, kan?"
Aku duduk di sebelah tante Titin, "Tapi memang begitu faktanya Tan, kebetulan Kakak hari ini enggak bisa datang karena ada urusan tapi ada Pak Arden yang dulunya teman satu kampusnya Raden." Aku berhenti sebentar, sementara tante Titin berusaha mengumpulkan kesadarannya, "Aku tahu ini sulit untuk dicerna, namun Raden itu sudah menikah, dia bukan bujangan mapan yang kita kenal. Dia bahkan bukan kepala divisi atau manager atau apalah itu Tan, dia cuma kepala OB."
"...apa Kansa sudah tahu?"
"Belum tan, makanya hari ini aku dan Pak Arden datang. Tapi seenggaknya aku ingin tante tahu pertama. Ini perkara penting."
Mendengar perkataanku begitu serius, tante akhirnya meneteskan air mata untuk pertamakalinya di hadapanku. Beliau adalah tante yang paling menyebalkan, namun juga paling bermental baja, sebisa mungkin tidak menangis bahkan di hari kepergian nenek agar kami cucu-cucunya tidak ikut bersedih. Melihatnya hancur begini membuatku sangat sedih. Ini semua salah Kansa, lagipula darimana ia menemukan lelaki brengsek seperti itu? Apa dia memang sebodoh itu sampai tidak bisa membedakan mana laki-laki yang memang baik dan pura-pura baik?
Ini semua karena Kansa... Kansa itu sungguh merepotkan!
"Ya sudah, ayo kita keluar. Yang lain juga perlu tahu, Kansa apalagi..." ujar tante Titin yang kemudian berdiri sendiri dan berjalan perlahan menuju pintu untuk keluar. Sementara di luar sudah ada Pak Arden yang berdiri dan menunggu, ia kemudian masuk setelah menyapa tante Titin sebentar dan berlutut di hadapanku.
Tangannya yang besar dan hangat mengusap air mata yang entah sejak kapan menetes, "Ada apa?" Tanya beliau dengan penuh perhatian.
"Aku takut... aku tiba-tiba takut..."
Tangannya yang satu lagi meraih tanganku yang sejak tadi menggenggam erat rok, genggamannya sungguh hangat membuat hatiku tenang, "Nissa, kenapa kamu takut?"
"...tadi, pas liat tante nangis, aku jadi ragu apa yang aku lakukan ini benar atau salah. Kalau aku cuma mengacau gimana? Apa sebaiknya aku biarkan Kansa bahagia aja meski pernikahannya palsu?"
"Memangnya ada wanita yang bahagia menikah dalam kebohongan?" Tanyanya yang reflek aku jawab dengan gelengan pelan, "Nah, kamu coba posisikan diri kamu diposisi Kansa, apa kamu akan bahagia?"
Lagi-lagi aku menggeleng pelan, kemudian ia secara tiba-tiba memelukku pelan, aku hanya diam namun pelan-pelan menenggelamkan wajahku pada pundak lebarnya.
"Enggak apa-apa, kamu benar kok Adine..."
一一一
"Sayang banget aa Leo enggak bisa dateng... padahal aa janji mau bawain aku buku." Gumam Riska ketika kami baru saja berkumpul di ruang keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ninetynine of Hundred
Teen FictionKalau Adine adalah orang yang hidup didunianya sendiri, maka Arden adalah orang yang terobsesi dengan dunia itu. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Tuntutan pernikahan dari keluarga besar dengan pemikiran primitif, membuat Adine Issabella Lim semakin pusing p...