Hari ini aku dan Kakak makan di dekat rumah sakit bersama Mami. Karena kesehatan Mami mulai membaik walau hanya sedikit, ia bisa meninggalkan rumah sakit untuk sebentar saja asal tidak jauh-jauh. Akhirnya kami berkumpul di Solaria yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah sakit.
Aku sendiri tidak berpikir kalau ini adalah hal yang baik, Mami masih harus menenteng infusnya kemana-mana. Yah, tapi karena beliau sendiri yang minta apa boleh buat.
"Kak, kamu kan udah selesai juga nih sidang skripsinya kapan mau bawa mantu buat Mami?" Sepertinya bukan hanya aku yang diteror mengenai 'mantu' ini.
Kakak hanya terkekeh sembari menggaruk tengkuknya, "Akhir bulan deh, gimana?"
"Ck, akhir bulan kamu mah bisa akhir bulan tahun depan. Kamu kan mau kepala tiga, masa gak ada niatan buat bawain mama menantu sama cucu?"
"Ya mau gimana, belom ketemu janda beranak satu." Aku tidak masalah kalau Kakak menikah dengan Pak Arden, dapat cucu pula, kan? Sana Kak, aku mendukung meski kalian melawan kodrat yang maha kuasa.
"Haish! Ya Mami kan udah kayak gini, kalau pada akhirnya Mami pergi belum liat orang spesial kalian gimana?"
Aku dan Kakak saling bertatapan satu sama lain, kemudian memeluk Mami secara bersamaan, "Kan Mami kalo ngaca juga keliatan!"
"Aih, makasih... tapi..." Mami melepas pelukan Leo kemudian memelukku erat, "...fakta kalian berdua kalah dari Kansa masih bikin Mami kesel!"
"Astaga Mamiii, masih dibahas aja!" Komplainku yang kini membalas pelukan Mami lebih erat lagi.
Memangnya tidak bisa, ya? Satu hari saja hidupku tidak berurusan dengan masalah yang namanya Kansa. Bahkan kemarin malam Tante Titin menelponku tengah malam untuk memberitahu jika tanggal cantik Kansa dan Raden sudah ditentukan, mereka juga nanti menikah dengan adat Jawa modern di gedung hotel. Katanya aku harus datang bantu-bantu memilih gaun pernikahan.
"Ya iyalah! Kemaren Mami ditelpon Tante Euis, katanya udah mau fitting baju aja mereka!" Mami luar biasa tampak tidak senang, "padahal mah kemana-mana masih lebih cantik sama pinteran kalian, masa gak bisa sih cari pacar aja gitu..."
"Kakak ganteng dong, Mih!"
"Terserah lo kunyuk."
"Heh, Nissa!" Tegur Mami.
"Kan Mami juga mau, bisa liat calon mantu sebelum pergi. Kalau dikasih waktu juga mau cucu, kenapa Kakak gak hamilin cewek aja sekarang?" Mami sepertinya bermaksud bercanda, namun ia tampak sungguh serius.
"Astaga Mih, ga gitu juga dong!" Kataku.
"Nih Mih, mending suruh Nissa cari duda kaya." Saran Kakak yang membuatku ingin melempar piring ke ubun-ubunnya.
"Boleh tuh Nis, kalo dudanya belom punya anak kalian adopsi aja. Buat juga gak masalah, Mami pengen deh liat kamu bunting."
"Mamiiiih!"
Mami dan Kakak tertawa bersama, "Kan di depan mata udah ada Nis," goda Kakak kepadaku.
"Ha? Elo? Dih!"
"Bukan, duda kaya raya. Tipe Nissa banget, kan?"
Maksudnya Pak Arden? Astaga, aku lebih baik pindah ke Venezuela untuk membantu mengatasi inflansi di sana. Kemudian terbang ke Pluto untuk menyemangatinya yang kini sudah terlupakan一maksudku dilupakan secara sengaja, makanya kasihan.
"Buset, kalo ada juga udah aku kawinin, Kak!" Jawabku setengah bercanda.
"Serius?" Tanya Kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ninetynine of Hundred
Подростковая литератураKalau Adine adalah orang yang hidup didunianya sendiri, maka Arden adalah orang yang terobsesi dengan dunia itu. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Tuntutan pernikahan dari keluarga besar dengan pemikiran primitif, membuat Adine Issabella Lim semakin pusing p...