Pikiranku saat itu betul-betul kosong. Tidak bahkan sepatah kata pun muncul dikepalaku. Saat Pak Arden, si direktur dari perusahaan yang menjadi sponsor utama beasiswaku, si duda keren anak satu yang sering dibicarakan oleh guru-guru di TK anaknya, memberiku perhatian seperti kemarin.
Aku tidak begitu punya banyak pengalaman dalam hal percintaan, namun ketika yang dimaksud adalah drama korea atau novel barat romantis aku betul-betul penggemar beratnya. Seingatku mantanku cuma satu saat SMA, namanya Aldi. Kami sempat bermusuhan selama setahun lebih, namun kemudian kembali berteman.
Meski tidak sedekat yang dulu, hubungan kami bagai sahabat lama. Kemudian poin yang ingin aku tegaskan adalah Aldi punya banya sekali pengalaman cinta. Bahkan dulu pernah buka jasa mak comblang untuk membantu kawan-kawannya PDKT.
Jadi, hari ini sekaligus aku kembali untuk memenuhi undangan acara pertunangan 'sederhana' Kansa dan Raden, aku juga berniat untuk berkonsultasi dengan Aldin. Dan juga, ada hal yag mengesalkan, ternyata tulang kakiku ada sedikit retak. Perawatannya tidak begitu serius, pokoknya aku jangan jalan jauh atau terlalu lelah selama satu minggu kedepan. Namun nyatanya baru dua hari, aku sudah berkelana sendiri dengan bus umum ke Bandung.
Setelah sampai, aku segera disambut oleh Tante Titin dan Tante Euis. Mereka segera memelukku sesaat kemudian mengambil dua kantong kresek besar berisi oleh-oleh yang mereka titip dan sepertinya tidak akan mereka ganti. Yah, aku memang sudah biasa kok perihal titip-titipan begini.
"Oh, ya, Nissa ga bawa pendampingnya juga nih?" Tanya Tante Titin sembari makan manisan yang aku bawakan dari Jakarta. Ia melirik ke arah Tante Euis yang sedang mengendarai mobil, dengan senyuman menyindir yang jelas membuat aku kesal.
Tante Euis terkekeh kecil, "Iya nih, Kansa aja udah tunangan, masa kamu masih sendiri aja? Malu dong!" Mereka berdua tertawa, namun aku hanya tersenyum canggung menanggapi candaan mereka yang jujur saja, tidak lucu.
Kenapa sih soal perasaan seperti ini harus dipaksakan? Memang kenapa kalau aku lebih memilih untuk fokus ke pendidikan? Bukannya 19 tahun itu masih terlalu cepat untuk cinta-cintaan begini. Sumpah, aku ingin menampar mereka dan memukuli mereka secara terus-terusan sembari berteriak, "AKU MASIH INGIN FOKUS KE PENDIDIKAN."
"Hehe, iya Tante... aku fokus ke pendidikan belom ke cinta-cintaan一"
"Alah, yang namanya cewek tuh akhir-akhirnya bakal berdiri di dapur, ngelayanin suami, ngurusin anak-anak, itu mah ijazah-ijazahan cuman sekadar kertas aja!" Selak Tante Titin yang disertai persetujuan Tante Euis, " sekolah tinggi itu kalo buat cewe cuman buat nunjukin kekayaan orang tua aja! Kita mah orang biasa ya udah gak usah maksain."
Oh begitu? Dasar pola pikir primitif!
"Tapi Nissa mau kerja juga Tan一" Sebelum aku berhasil menyelesaikan jawabanku Tante Euis menyelak, "Udah, nanti Tante kenalin sama temen Tante, dia ada keturunan bule-bule gitu!"
Sejujurnya aku tidak mau, namun aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung.
Bacot sekali...
一一一
Nissauu : Besok dress saya warna biru
Nissauu : Pake item ya, ada kan?一一一
"Neng geulis!" Sapa seorang wanita paruh baya penuh antusias yang tidak asing namun tidak aku ketahui namanya.
Aku mengangguk dan menyapa ramah, "Iya tante..." kemudian ia meraih tanganku dan menariknya ke dalam rumah Tante Titin, tempat diselenggarakannya acara tunangan Kansa dan Raden.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ninetynine of Hundred
Teen FictionKalau Adine adalah orang yang hidup didunianya sendiri, maka Arden adalah orang yang terobsesi dengan dunia itu. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Tuntutan pernikahan dari keluarga besar dengan pemikiran primitif, membuat Adine Issabella Lim semakin pusing p...