10

942 148 0
                                    

Naya hampir tersedak ketika mendengar pertanyaan Yan. Dia pikir Yan bercanda, tapi lawan bicaranya menatap serius sambil menunggu jawaban. Naya yang ditatap sedemikian rupa makin kelabakan mencari jawaban. Dia juga bingung atas dasar apa Yan menanyakan hal ini.

"Kenapa menurutmu aku membencimu?" balas Naya setelah terdiam beberapa saat.

Yan menyandarkan punggungnya dan melipat tangannya di dada tampak berpikir, "Bagaimana aku mengatakannya ya..."

"Selama kita sekelas, aku jarang sekali berbicara denganmu, duh gimana sih, aku jadi seperti orang yang terlalu PD," Yan mengacak rambutnya frustasi, gemas tidak bisa menemukan pertanyaan yang tepat. Naya memperhatikannya sambil tersenyum heran, lucu juga orang di depannya ini.

"Baiklah begini, aku jarang sekali berbicara denganmu di sekolah. Sesekali kita bertemu dalam suatu projek kelas, dan kamu tau? Kadang aku bisa melihatmu merengut padaku. Aku merasa sangat terganggu sejak lama karena, well, jarang kutemukan orang yang memperlihatkan kebencian padaku terang-terangan. Aku jadi penasaran kenapa kamu membenciku? Apa aku pernah berbuat salah padamu dan melupakannya? Wah, aku kadang sampai nggak bisa tidur memikirkan hal ini," Yan mengakhiri kalimat panjangnya sambil menyesap susu almondnya yang tinggal sedikit.

Naya hampir terkekeh mendengar penutup penjelasan Yan. Dramatis sekali Yan jika memang demikian. Dan tentang penjelasan Yan, Naya menarik napas dalam sebagai respon pertamanya. Oh, Yan menyadarinya, pikirnya. Menyadari bahwa Naya tidak nyaman berada dekat Yan dan mengiranya membenci Yan. Naya tidak heran, karena hal seperti ini bukan pertama kalinya terjadi. Tapi ini pertama kalinya ada yang menanyakan padanya terang-terangan seperti ini, membuat Naya kembali pusing memberikan jawaban yang tepat, yang masuk akal.

Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benak Naya. Bagaimana jika dia membenarkan prasangka Yan? Dia pikir itu pasti akan lebih mudah melanjutkannya. Yan akan menyadari tempatnya dan berusaha berada di luar radar Naya. Tapi ada satu dan lain hal yang membuatnya mengurungkan niatnya itu dan memilih hal yang lebih sulit.

"Nggak Yan, aku nggak membencimu," Naya menjeda kata-katanya, "Aku cuma punya masalah penglihatan, tapi aku nggak suka pakai kacamata dan nggak bisa pakai lensa. Jadi aku sering memandang orang seperti ini," Naya mempraktikkan bagaimana ia mengerutkan kening dan menyipitkan matanya seperti kebiasannya berharap hal itu mendekati ekspresi merengut spontannya.

Naya bisa melihat Yan ternganga di depannya. Ia tahu itu alasan paling konyol yang pernah Naya karang. Dia berharap Yan mempercayainya dan membiarkannya berlalu.

"Sungguh?" yakin Yan atas penjelasan Naya yang dijawab dengan anggukan.

Sebenarnya Yan masih separuh sangsi atas jawaban yang diberikan Naya, tapi ia mencoba menerimanya. Toh sekarang Naya ada di depannya menemaninya makan siang dan bercakap-cakap yang mungkin tidak akan mau dilakukan Naya jika memang ia membenci Yan. Demikianlah Yan, orang yang terlalu positif sampai kadang kelewat naif.

Senyum pun merekah pada wajah Yan menampakkan dua lesung pipi manisnya. Naya bersyukur dalam hati karena sepertinya Yan mempercayai penjelasannya.

Sebetulnya, Naya juga punya pertanyaan yang mengusiknya. Mengenai apa lagi kalau bukan masalah si entitas. Seperti, apa yang membuat Yan bisa sampai ditempeli entitas seperti itu? Atau bahkan mungkinkah Yan sengaja memelihara entitas itu? Tapi Naya tidak menemukan cara yang tepat untuk menanyakan hal tersebut, jadi ia menyimpan saja pertanyaan-pertanyaannya. Jika Naya tidak berpikir panjang dan menanyakan segalanya, yang ada mungkin Yan akan menganggap Naya tidak waras.

Innocently Evil [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang