Sudah hampir isyak. Abiem baru saja masuk rumah saat mamanya menerima telpon.
"Itu Si Abiem dah pulang, Jeng. Nanti kutanyakan ke Abiem, ya. Ya, ya... Akan segera kukabari, Jeng. Semoga semua baik-baik saja." Mama Abiem menutup telpon. "Biem, hari ini di sekolah ada kegiatan apa?" Tanya Mama Abiem.
"Kayaknya nggak ada deh, Ma. Hari ini ekskul free." Kata Abiem sambil menuang air putih ke dalam gelas dan meneguknya. "Emang ada apa, Mas?"
"Kamu sudah ketemu sama Riri, anaknya Om Kris?" Tanya Mama Abiem.
"Sudah, Mas. Kebetulan dia sekelas sama Abiem. Duduknya sebelahan pula." Jelas Abiem.
"Nah... Kamu tahu tidak Riri pulang sama siapa?" Tanya mama lagi.
"Katanya sih tadi mau pulang naik angkot, Ma." Jawab Abiem. "Penginnya sih, Abiem ngajakin pulang bareng, gitu. Tapi kan hari ini Abiem ada kelas karate. Ya udah, Riri ngangkot." Lanjutnya. "Ada apa sih, Ma?" Tanya Abiem, penasaran.
"Barusan Tante Rukmini telfon. Katanya sampai sekarang Riri belum sampai rumah." Kata Mama Abiem. Guratan kecemasan tergambar di wajah Mama Abiem.
"Apa??" Abiem kaget. "Wah, jangan-jangan, Riri tersesat, Ma? Atau, jangan-jangan..." Abiem tidak melanjutkan kalimatnya. Dia langsung menyambar helm dan kunci motornya.
"Biem! Mau ke mana?" Teriak mamanya.
"Nyari Riri, Ma!" Jawab Abiem. Tak lama, suara motornya terdengar menderu, meninggalkan rumah.
***
Riri belum sepenuhnya sadar. Samar-samar dia mendengar pembicaraan dua orang, laki-laki dan perempuan.
"Ini anak siapa ya, Pakne? Kog bisa terkapar di pinggir jalan?" Kata si perempuan.
"Mana aku tahu, Bune. Ada anak gadis terluka di pinggir jalan ya kubawa pulang gitu aja." Jawab si laki-laki.
"Apa tidak ada tas yang dia bawa atau dompet yang dia bawa to, Pakne?" Tanya si perempuan lagi.
"Tidak ada, Bune." Jawab suaminya.
Perlahan, Riri membuka mata. Pandangannya menerawang ke langit-langit rumah. Rumah itu sederhana. Dindingnya terbuat dari kayu. Dia terbaring di ranjang kayu dengan kasur kapuk.
Riri mengingat-ingat lagi apa yang baru saja dia alami. Peristiwa di sekolah, pulang sekolah, dan terakhir peristiwa dalam angkot itu. Dari semua itu, Riri berkesimpulan, semua orang di sekitarnya jahat. Lalu, bagaimana dengan kedua suami-istri itu? Jangan-jangan mereka juga orang jahat?
Riri mencoba bangun tapi badannya kaku. Tulang belulangnya terasa ngilu. Beberapa bagian muka dan kaki serta tangannya terasa perih. Pasti penuh luka.
"Pakne... Pakne... Lihat! Dia sudah sadar." Teriak si istri sambil menghampiri Riri. Dia membawa selembar kain dan mulai membersihkan luka-luka di wajah Riri. Riri mendesis, menahan perih. "Nama kamu siapa?" Tanya perempuan itu. Riri tidak menjawab. Dia belum bisa mempercayai siapapun saat ini. "Kog dia ditanya diam saja ya, Pakne?" Kata perempuan itu sambil membalut luka di kening Riri dengan kapas dan plaster luka.
"Jangan ditanya macam-macam dulu! Biar pulih dulu ingatannya." kata suaminya.
"Atau, jangan-jangan, gadis ini bisu, Pakne?" Tebak si istri. Aha! Riri pun dapat ide. Sebaiknya dia diam saja, tidak usah bicara. Biarlah dia dianggap bisu. Mungkin, itu lebih aman baginya karena dia tidak tahu, suami-istri itu orang baik atau jahat.
***
Abiem baru saja mendatangi rumah temannya satu per satu. Dia berharap, ada salah satu dari mereka yang tahu ke mana Riri sepulang sekolah tadi. Namun, usaha Abiem sia-sia. Tak satu pun dari temannya yang tahu di mana Riri berada. Dia memutuskan untuk pergi ke pangkalan angkot. Bukankah Riri tadi bilang mau pulang naik angkot? Siapa tahu, di antara sopir angkot ada yang tahu di mana Riri.
"Bang, yang tadi narik lewat SMA Persada sekitar jam 4 sore, siapa saja ya, Bang?" Tanya Abiem pada seorang sopir angkot yang sedang menghitung uang.
"Wah, banyak, Tong!" Jawab bapak itu. "Jam segitu jam rame-ramenya orang pulang kerja. Angkot bisa berkali-kali narik." Lanjutnya. Dia lalu mengantongi uang yang tadi dia hitung. "Emangnya ada apa?" Tanya si sopir angkot.
"Gue lagi nyari temen gue, Bang. Cewek, cantik, kulitnya hitam-manis, rambutnya hitam, panjang, pake poni di depan." Kata Abiem.
"Wah, sehari ini penumpang gue emak-emak semua! Lo tanya ke yang lain aja gih!" Kata si sopir angkot.
"Makasih, Bang." Kata Abiem. Abiem lalu menemui sopir dan kernet angkot yang masih ada di situ. Namun, tidak ada satupun yang merasa melihat gadis dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan Abiem.
Abiem mulai putus asa. Abiem juga mulai lapar. Dia baru ingat, dia belum sempat makan malam. Dia pun memutuskan untuk menuju warung tenda di pojok terminal angkot. Dia masuk warung dan memesan segelas teh manis. Segera dicomotnya nasi bungkus yang tersedia di meja. Dia buka, dan dia menikmati nasi kucing di hadapannya. Di warung itu, ada dua pembeli yang sudah lebih dahulu berada di sana. Mereka berbincang sambil menikmati kopi.
"Ah... Lo tu ceroboh, Son! Kog bisa-bisanya gadis itu lepas trus Lo biarin loncat gitu aja?" Kata salah satu dari mereka yang berbadan kekar.
"Ya maaf, Bang! Habis mau gimana lagi. Gue kesakitan, Bang. Dia ngegigit gue kayak drakula menghisap darah." Kata yang lain yang berbadan cungkring.
"Ah... Lo malah dah kena cupang, tu! Hahahaha..." Seloroh si kekar.
"Sakit, Bang! Lihat, ni! Sampai luka begini!" Kata si cungkring. "Bang, bagaimana kalau gadis itu nantinya lapor polisi, Bang?" Tanya si cungkring.
"Lo tenang aja! Gadis itu kayaknya dah mampus! Cari mati aja tu anak! Lompat dari angkot ngebut!" Kata si kekar.
"Kasihan kalo gadis secantik itu mati, Bang." Kata si cungkring. "Jujur aja, gue belum pernah lihat gadis yang cantiknya kagak dipoles kayak dia tadi."
Abiem menghentikan suapan nasinya. Segera dia teguk teh manis yang sudah dia pesan. "Jangan-jangan, gadis yang mereka bicarakan itu Riri?"
"Abang berdua ini habis narik angkot, ya?" Abiem memberanikan diri menyela pembicaraan dua orang itu.
"Iya! Emangnya kenapa?" Tanya si kekar.
"Apa gadis yang Abang berdua bicarakan itu orangnya cantik, hitam manis, rambut panjang, poni depan?" Tanya Abiem. Kedua orang itu saling berpandangan.
"Iya. Emangnya kenapa?" kali ini si cungkring yang tanya.
"Abang berdua tahu sekarang gadis itu di mana?" Tanya Abiem lagi.
"Gadis itu lompat di area pesawahan dekat Sutet!" Jawab si cungkring.
"Lompat? Lompat dari angkot?" Tanya Abiem. "Emangnya apa yang Abang lakuin ke gadis itu?" Abiem mulai tersulut emosi.
"Eh, Tong! Apapun yang kami lakukan, itu bukan urusan Lo!" Jawab si kekar. "Lo juga, Son! Ngomong kagak dijaga! Ayo, cabut!" Si kekar lalu menarik si cungkring untuk pergi dari warung itu.
"Eh... Bayar dulu!" Teriak si pemilik warung.
"Bon!" Teriak si cungkring.
Abiem segera menenggak habis sisa teh manis di gelasnya. Dia lalu menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan kepada pemilik warung. "Ambil saja kembaliannya, Pak." Kata Abiem.
Abiem segera memakai helmnya dan menstater motor. Dia segera pergi. Dia harus segera menemukan Riri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Abiem
Teen FictionAbiem disudutkan pada pilihan yang rumit. Papanya menjodohkan dia dengan Utari sedangkan dia sendiri jatuh cinta pada Sundari. Di satu sisi, Abiem tidak bisa menuruti keingingan papanya. Dia sangat menyayangi papanya dan tidak ingin mengecewakannya...