Si Gadis Bisu

18 4 6
                                    

Abiem sudah jauh menggeber motornya. "Sawah dekat Sutet kata abang cungkring itu." Itu seperti jadi petunjuk bagi Abiem. Dia segera menuju ke sana. Butuh setengah jam untuk sampai ke area persawahan itu. Namun, ketika Abiem sampai di area pesawahan yang ada Sutetnya, Abiem malah bingung sendiri. Area pesawahan itu terbentang sepanjang jalan. "Trus, di sebelah mana Riri lompat?" Tanya Abiem dalam hati.

Tiba-tiba, HP-nya berdering. Papanya telfon. "Hallo, Papa!" Sapa Abiem. Namun, sayangnya, baterainya low bat. "Tuit... Tuit... Tuit..." Mati! "Ah... Sial!" Umpat Abiem. HP-nya belum di-charge dan dia tidak sempat membawa PB.

Abiem memutuskan untuk menyusuri jalan. Pokoknya, pantang pulang sebelum Riri ketemu.

***

Riri sudah terbangun dari tidurnya. Sinar mentari menerobos masuk melalui genting kaca. Badan Riri masih terasa kaku tapi setidaknya dia sudah bisa bangun. Dari luar kamar, dia mendengar suara seseorang menggoreng. Riri mencoba turun dari ranjang. Dengan tertatih, Riri melangkah keluar kamar. Dia mengamati ruangan tempat sekarang dia berada. Ada meja makan sederhana. Tak jauh dari situ, ada kursi - meja tamu sederhana juga. Lalu, di salah satu dinding terpajang foto suami istri. Di foto itu tertulis nama Ismoyo - Kanastri. "Mungkin, itu nama pemilik rumah ini." Pikir Riri.

Rupanya, Pak Ismoyo melihatnya keluar dari kamar.

"Eh... Mau ke mana?" Tanya Pak Ismoyo. "Istirahat saja di dalam!" Katanya sambil memegang tangan Riri dan membantunya duduk di kursi ruang makan. Riri mengusap lehernya. "Kamu haus?" Tanya Pak Ismoyo sambil menirukan Riri mengusap lehernya. "Mau minum?" Tanyanya lagi sambil mendekatkan jempolnya ke arah mulut. Riri mengangguk. Segera, Pak Ismoyo mengambil gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya. Dia menyodorkan air itu ke Riri. Riri menerimanya dan meneguk hingga habis. "Kamu lapar?" Tanya Pak Ismoyo sambil memegangi perutnya. Riri mengangguk. Pak Ismoyo membuka tudung saji tapi belum ada apa-apa di sana. Dia memandang Riri sambil tersenyum malu.

Aroma gorengan yang baru diangkat menyeruak dari dapur. Suara sesuatu yang dimasukkan ke minyak masih terdengar. Ada yang sedang masak di sana. Riri melongok, mencari-cari.

"Itu istriku." Kata Pak Ismoyo sambil memegang daun telinganya lalu menunjuk dadanya.

Riri kini merasa, suami-istri ini pastilah bukan orang jahat. Dia lalu berdiri, tertatih menuju dapur. Pak Ismoyo segera mengejarnya, memapah Riri hingga ke dapur.

"Anak ini tampaknya sudah lapar, Bune. Masakanmu belum matang, ya?" Tanya Pak Ismoyo.

"Belum, Pakne. Sebentar lagi nasinya matang. Tapi, kita tidak punya lauk." Kata Bu Ismoyo. "Kalo mau makan, berarti terpaksa ambil dagangan ini dulu." Lanjutnya. Rupanya, segala macam gorengan yang sedang diolah Bu Ismoyo adalah dagangan. Riri jadi tidak enak hati. Dia sudah merepotkan suami-istri itu.

"Nggak pa-pa to, Bune. Ambilkan satu atau dua untuknya dulu. Kasihan dia." Kata Pak Ismoyo. Wah, Riri jadi semakin tidak enak hati. Riri lalu mendekati Bu Ismoyo. Dia menunjuk dadanya lalu menunjuk wajan.

"Kamu mau makan?" Tanya Bu Ismaya. Riri menggeleng. Lalu, dia memutar-mutar telapak tangannya. "Oh... Kamu mau bantu menggoreng?" Tanya Bu Ismoyo. Riri mengangguk. "Baiklah..." Bu Ismoyo menyerahkan sodet dan serok kepada Riri. Riri menerimanya.

Satu per satu, Riri membantu menggoreng dagangan Bu Ismoyo. Sementara, Bu Ismoyo mengangkat kukusan nasi dan mengeluarkan nasi yang sudah matang dari dalamnya. Segera, Bu Ismoyo membawa nasi itu ke meja makan. Lalu, dia mengambil beberapa bumbu dapur. Bawang merah, bawang putih, cabai, garam. Tidak lama, sambal bawang pun siap. Dan, Bu Ismoyo membawa sambal bawang itu ke meja makan. Setelah itu, dia membuat segelas teh manis dan menyuguhkannya pada suaminya yang sudah sedari tadi duduk di ruang makan. Sementara, Riri masih melanjutkan menggoreng, dia mendengar percakapan suami-istri itu.

"Dia itu sepertinya anak yang rajin, Pakne." Kata Bu Ismoyo. "Sayangnya, dia tidak bisa ngomong."

"Bagaimana kalau aku lapor Pak Lurah saja, Bune?" Kata Pak Ismoyo.

"Lhah? Kalau mau lapor, kamu mau cerita apa ke Pak Lurah, Pakne? Kalau kamu ditanyai Pak Lurah, namanya siapa, asalnya dari mana, bagaimana? Pakne mau jawab apa? Kita tidak bisa menemukan identitas apapun. Kita tidak tahu apa-apa tentang dia." Kata istrinya.

"Ya, aku tinggal cerita ke Pak Lurah, aku nemu gadis di pinggir jalan dalam keadaan terluka. Ternyata gadis itu bisu. Sudah! Gitu saja." Jawab Pak Ismoyo.

"Kenapa tidak kita rawat saja dia, Pak. Nanti kalau ada yang tanya siapa dia, kita jawab saja dia keponakan kita dari desa, gitu." Kata Bu Ismoyo.

"Ah, ya nggak bisa begitu to, Bune. Kalau keluarganya mencari, bagaimana? Kan kasihan. Dia pastinya juga pengin kembali ke keluarganya, to?" Kata Pak Ismoyo.

"Iya kalau keluarganya nyari. Bagaimana kalau ternyata dia itu dibuang keluarganya?" Kata Bu Ismoyo.

"Kamu ini kebanyakan nonton sinetron, Bune." Kata Pak Ismoyo.

Bu Ismoyo menuju dapur. Dia menaruh gorengan ke dalam sebuah bakul lalu membungkusnya dengan kain. Dia juga menyisihkan beberapa tahu dan  tempe di sebuah piring. Riri sudah selesai menggoreng. Dia mematikan kompor. "Selesai?" Tanya Bu Ismoyo sambil mengacungkan jempol. Riri tersenyum. "Ini mau dijual. Biar dapat duit." Kata Bu Ismoyo sambil menggesekkan ibu jari dengan telunjuk. "Ayo!" Bu Ismoyo menggandeng Riri, membawanya ke ruang makan. "Ini, Pakne. Dagangan sudah siap." Kata Bu Ismoyo sambil menyerahkan bungkusan kain berisi gorengan tadi.

"Kalo begitu, aku berangkat dulu, Bune." Kata Pak Ismoyo.

"Iya, Pakne. Hati-hati!" Pesan Bu Ismoyo. Pak Ismoyo segera keluar rumah, menaruh bungkusan berisi gorengan di sebuah becak yang sudah terparkir di depan rumah. Becak itu sudah berisi beberapa galon air dan sebuah ceret. Setelah memeriksa semua bawaannya, Pak Ismoyo segera naik ke sadel becak dan mengayuh becaknya pergi.

Bu Ismoyo mengajak Riri duduk di ruang makan. Dia segera mengambil piring dan menuangkan nasi lalu menaruhnya di depan Riri. Tak lupa dia juga menyodorkan sepiring tahu-tempe goreng beserta sambal bawang. "Makan!" Kata Bu Ismoyo sambil memperagakan suapan ke mulut. "Biar kuat!" Lanjutnya sambil mengangkat tangannya, seperti binaraga yang sedang memamerkan otot lengan. Riri tersenyum geli melihat tingkah Bu Ismoyo. Segera, dia melahap makanan yang diberikan Bu Ismoyo. Bu Ismoyo begitu terharu melihat Riri lahap menyantap makanan sederhana yang dia buat. "Kasihan sekali kamu, Nak. Entah siapa yang telah tega menyakiti kamu seperti itu." Kata Bu Ismoyo. Riri pura-pura tidak mendengarnya. Dia masih asyik dengan sarapannya.

Cinta AbiemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang