Jean sedang sibuk menulis pelajaran yang sudah kurang lebih seminggu dia tinggalkan. Putra dan Alice sedang sibuk berbincang di sofa.
Tangan dan kakinya belum sembuh. Rambutnya juga belum tumbuh. Ingin sekali Jean menghajar orang yang memukul kepalanya hingga terluka dan untuk memudahkan proses penjahitan pada kepalanya diharuskan untuk memotong rambutnya.
"Al, gue minta tolong kumpulin tugas sama catatan kimia, bahasa sama biologi, ya. Selebihnya nyusul," kata Jean sambil menutup buku tulisnya dan milik Alice.
"Iya, Je. Padahal kata guru-guru, lo bisa ngerjainnya nanti aja," ujar Alice.
"Entar numpuk, Al. Bentar lagi ulangan. Lo enak ulangan di sekolah sedangkan gue harus ikut susulan," jawab Jean murung.
"Tapi gue udah nanya sama wali kelas katanya lo bisa bersamaan ikut ulangannya tapi lo ulangan di rumah sakit sama diawasin sama satu guru dari sekolah," jelas Alice.
"Boleh juga. Gue gak mau susulan soalnya. Kalau nunggu kaki sama tangan gue baikan mungkin baru tahun depan. Kalian udah jadian?"
Alice dan Putra langsung menjawab bersamaan. "Enggak."
"Yeh ... gue pikir udah ada kemajuan."
Melihat Alice memainkan ponselnya, membuatnya berpikir tentang ponselnya. Pasti sudah penuh entah itu dengan pesan ataupun panggilan. "Put, ambilin hape gue dong."
Putra berdiri dan mengambil ponsel Jean di dalam tasnya. Banyak panggilan tak terjawab serta pesan yang belum dibalas.
Jean mulai memainkan ponselnya. Membalas pesannya dengan pesan suara karena agak susah mengetik menggunakan satu tangan.
Whatsapp-nya berisi sekitar tiga ratus pesan dari orang yang dikenalnya, dua ratus pesan dari nomor yang tak dia simpan, pesan grup lebih dari delapan puluh ribu dan Jean berpikir untuk sebentar saja membalasanya.
Instagram-nya berisi banyak DM dan juga tag snapgram. Tag post entah itu foto atau video di Instagram-nya juga sangat banyak bukan main. Selanjutnya dia membuka Line, sama, pesannya sangat banyak. Padahal baru tujuh hari dia tidak memainkan ponselnya bagaimana jika satu bulan?
Ponselnya berdering. Bukan panggilan dari Lingga ataupun Jackson. Kedua lelaki itu seperti hilang ditelan bumi. Jean mengangkatnya.
"Hai ... Ankaa."
"Hai. Aku merindukan oma."
"Kenapa bukan aku?"
"Hah? Gimana?"
"Gak rindu sama aku?"
"Tidak. Kemarin sudah ke sini. Kenapa harus rindu?"
"Kalau begitu, nanti aku tidak ke situ lagi."
"Harus seperti itu? Biar apa coba?"
"Biar dirindukan."
"Ada-ada aja."
"Simpan nomorku."
"Iya, Auriga."
"Kenapa harus Auriga?"
"Suka-sukaku."
"Kalau suka aku, bisa?"
"Hah?"
"Hah mulu. Aku matiin. Istirahat."
Panggilannya sudah mati. Jean langsung menyimpan nomor tersebut. Bukan dengan nama Garka. Tetapi dengan nama Auriga.
***
Malam harinya, Jackson datang. Dia menatap keadaan anak perempuannya. "Kenapa?"
Hanya itu yang keluar dari mulut Jean. Sedangkan Jackson bingung sendiri. Anaknya yang ekspresif sudah tiada. Berganti dengan gadis dengan tatapan sendu. "Maafin, Ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Met Plezier
Teen FictionTentang seorang perempuan yang suka mengabadikan suatu kejadian dengan lensa kamera serta coretan di atas lembaran. Dan tentunya abad di ingatannya. Perempuan yang terlihat baik-baik saja namun hatinya sering dirundung duka. Dugaanmu salah. Semesta...