zevenenveertig

27 4 2
                                    

"Cerita cepet. Muka lo jelek banget kalau murung gitu."

Jean, Putra dan Remi kini berada kantin gedung les gitar Jean. Remi terus membujuk Jean untuk menceritakan masalahnya. Sedangkan Putra memilih diam dan menunggu Jean bercerita sendiri.

"Caranya gimana? Gue harus mulai dari mana?"

Putra yang sedari tadi sibuk memainkan kunci motornya kini menatap Jean. "Langsung ke intinya aja, Je. Kasihan tau si Remi bela-belain ke sini terus batalin janjinya sama Zaira."

"Gue rasa, ayah sama mama gue lagi perang dingin. Iya, wajar emang kalau ribut gitu dalam keluarga tapi kali ini udah nggak wajar menurut gue. Mama kayak anti banget sama ayah. Terus ayah sikapnya makin aneh gitu kayak ngehindar terus. Gue awalnya masa bodo tapi gue mulai risih."

Jean melipat kedua tangannya di atas meja dan menenggelamkan wajahnya. Dia menangis. Remi dan Putra saling berpandangan dan bingung ingin menjawab apa. Putra sendiri ingin menyuruh Jean agar sabar tapi dia merasa tidak keren jika hanya menyarankan seperti itu.

"Sabar, Je," kata Remi. Putra langsung menatap Remi. Tatapannya seperti berkata 'nggak keren banget jawaban lo.' Putra heran, biasanya Remi memiliki jawaban yang sangat tepat dan enak didengar. Tetapi kali ini Remi berbeda dan Putra merasa bingung sendiri.

Putra langsung mengelus kepala Jean. "Jangan nangis, Je. Menurut gue pribadi, mending lo tanyain langsung ke mama, Je. Daripada lo bingung sendiri. Dan apapun yang terjadi gue bakal di samping lo, Je. Lo nggak sendiri. Ada gue sama Remi."

"Bener kata Puput. Jangan nangis terus. Nangis emang buat lo lega tapi nggak baik keseringan nangis. Lo kuat. Lo pasti bisa lewatin semua ini. Ingat, lo nggak sendiri. Minum dulu, biar lo tenang."

Remi langsung memberikan air minum pada Jean. Putra hanya menatap gerak gerik Jean. Jean sibuk mengusap wajahnya dan menerima air dari Remi.

"Dilihatin mulu, Put. Kalau suka langsung bilang aja kali," celetuk Remi yang sedari tadi memperhatikan Putra.

"Sok tau lo, dugong," balas Putra.

"Tau dong. Nampak banget malah. Gue pergi dulu. Lo anterin Jeje pulang dengan selamat. Oke?"

Putra hanya mengangguk dan sekarang yang tersisa hanya dirinya dan Jean yang sepertinya masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

Putra langsung berdiri dan memeluk Jean. "Jangan kayak gini. Gue juga ikutan gila kalau liat lo kayak gini. Kita pulang, ya. Gue download-in drakor duyung-duyung itu deh."

Jean hanya mengangguk kemudian Putra membawakan tas gitarnya dan menggenggam tangan Jean dengan erat. "Makasih banyak, Put."

"Apapun itu. Asal lo seneng. Jangan nangis lagi."

***

"Masih jomblo, Je?" tanya Chira.
"Iya dong."
"Mau gue cariin yang baru apa gimana?" tawar Chira.
"Nggak usah aneh-aneh, Chir," kata Dio.

Putra baru saja datang kemudian menyugarkan rambutnya dan memasang tampang sedang pusing.

"Lo kenapa, Put?" tanya Dio.

"Bentar lagi gue punya adek baru."

Perkataan Putra membuat Jean, Chira, Dio, Karel, Jia dan Gladys langsung terdiam seribu bahasa, seperti sedang berusaha mengerti apa maksud dari perkataan Putra.

"Adek baru? Saudaraan sama lo, ya? Iya, kan?" tanya Jean heran.

"Yaelah, lo bego apa gimana, Je? Jelaslah saudaranya Putra masa saudaranya bu Tukirah," jawab Dio.

Chira langsung tertawa sambil mengusap ujung matanya yang mulai berair. "Eh, sumpah gue ngakak beneran."

"Lo ngakak kenapa? Nggak ada yang lucu perasaan," komentar Karel.

Met PlezierTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang