negenentwintig

18 4 1
                                    

Siang ini, Cathrine dikebumikan. Jean juga ikut. Kali ini dia tak menggunakan kursi roda. Jackson ingin menggendongnya saja. Jessy, Jef dan Putra juga hadir.

Cathrine diturunkan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Disebelah suaminya yang rupanya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.

Garka juga turun ke dalam liang lahat untuk menidurkan Cathrine. Garka tidak menangis sama sekali. Sambil terus melafalkan kalimat suci Sang Maha Pencipta. Perlahan tanah menimbun Cathrine.

Para pelayat sudah banyak yang pulang. Tersisa beberapa orang saja. Jean menatap sendu batu nisan di depannya. Setelah merasa cukup, Jackson kembali menggendongnya.

Saat Jackson sedang menuju ke tempatnya memarkir mobil dan tetap menggendong Jean. Jessy sudah lebih dulu kembali ke rumah sakit. Jef hanya mengikuti langkah Jackson dari belakang. Sampai langkah itu terhenti.

Seorang pria yang seumuran dengan Jackson sedang asik berbincang. Orang tersebut menatap Jean seperti kasihan. "Sudah berpa tahun kita tidak bertemu? Tujuh belas tahun lebih kayaknya. Anakmu, ya, Jack?"

Jackson tidak langsung mengiyakan. Jef yang melihat itu langsung maju di depan Jackson. "Misi, Pak. Makasih sudah mau bantu saya buat gendong Adik saya."

Jef mengambil Jean dari gendongan Jackson. Dan menatap Jackson sebentar. Jackson masih diam sampai temannya bertanya lagi. "Eh, anak cowok ini anakmu, kan?"

Jef langsung berbalik dan menatap teman Jackson kemudian tersenyum. "Bapak salah orang. Permisi."

Jef membawa Jean ke salah satu warung terdekat di sana. Dia memesan taksi online setelah itu langsung menuju ke rumah eyangnya. Bosan juga jika di rumah sakit terus-terusan.

Jef masih memperhatikan kaki Jean yang masih digips yang berada dipangkuannya. Jean duduk bersandar di pintu taksi. "Ayah gak akuin Jeje, ya? Emang Jeje keliatan menjijikan, Bang?"

Jean memperhatikan wajah Jean. Memperbaiki kupluk merah maron di kepalanya. Kemudian tersenyum. Tidak ada jawaban sampai si supir taksi menjawab pertanyaan Jean. "Neng tetap cantik, kok. Gak menjijikan sama sekali. Semoga cepat sembuh, ya, Neng. Makan yang banyak. Maaf, nih, Bapak langsung main nyambar aja," kata si supir taksi sambil tersenyum canggung.

Jean tersenyum. "Makasih, Pak."

***

Jean sedang berbaring di kamar Devin. Sedangkan Devon sedang bersama Jef di bawah.

"Devin, kira-kira kapan tangan sama kaki gue sembuh?" tanya Jean sambil menatap langit-langit kamar Devin.

"Februari mungkin," kata Devin.

"Kalo rambut gue kira-kira kapan baru tumbuh sebahu aja?"

"Sekarang udah lumayan, kok. Meski masih rada botak. Cepet kayaknya. Mungkin sekitaran bulan Maret rambut lo udah tumbuh sebahu. Kenapa nanya gitu?"

"Nggak. Gue nyeremin ya?"

Devin menggelengkan kepalanya. "Enggak. Teman-teman kelas gue pada komentarin foto gue sama lo, katanya lo tetap cantik meski pucat. Beneran."

Jean tersenyum dan seketika kejadian di pemakaman kembali teringat. "Eh, jangan nangis. Lo kenapa?"

Air matanya jatuh begitu saja. Masih terus melanjutkan ceritanya. Devin langsung memeluknya. Memberikan kalimat motivasi yang setidaknya menenangkan hati Jean.

***

Auriga :
Ankaa. Jangan nangis.

Jeanca Atseira :
Iya. Nggak kok. Kamu di Bogor, kan?

Met PlezierTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang