negenendertig

19 4 0
                                    

"Acel!!! Jangan lupain gue pokoknya. Kalau liburan harus main ke sini."

Jean masih terus memeluk Axel. Dan merengek seperti anak kecil. Padahal cuman di Jogja, dekat. Jef masih tidak bisa membayangkan jika dirinya yang akan di antar nanti.

"Je, udah. Kasihan Axel nggak bisa napas," kata Jef sambil menarik Jean untuk melepas pelukannya dari Axel.

"Astaga. Dari tadi kek, kan, gue juga mau ngomong," kata Bahstian dengan kesal karena sedari tadi Bahstian, Kevlar, Arraf, Jovan, Zega, Gio, Dava dan teman-temannya yang lain menunggu giliran untuk mengucapkan selamat tinggal pada si Panglima.

"Kak Bahs galak banget," kata Jean sebal sambil bersembunyi di belakang Putra yang sekarang merasa seperti anak hilang.

Semua yang berada di sana langsung tertawa. Sebelum acara berpamitan selesai, Axel menghampiri Putra. "Jagain, ya, Bro. Gue percaya sama lo."

Putra tersenyum dan Axel memeluk Putra kemudian menepuk bahunya sebanyak dua kali. "Siap. Gue usahain."

Jean sedari tadi menangis dan mengelap ingusnya beserta air matanya di baju Jef. Dan Jef hanya pasrah bercampur malu.

Sepulang dari bandara, Putra dan Jean langsung pergi ke salah satu pusat perbelanjaan. Katanya, Jean ingin membeli sesuatu.

"Mau beli apa sih, Je? Dari tadi kita udah muter-muter lima kali. Sadar apa kagak, Buk?"

"Temenin gue beli seperangkat alat sholat buat Lingga. Oke?"

Putra belum menjawab dan langsung ditarik oleh Jean untuk memasuki sebuah toko. Jean membeli sarung, peci, songkok, sajadah, baju koko dan Al-Qur'an.

"Je, lo nggak ngelamar Lingga, kan?" tanya Putra.

"Iya, nih. Gue mau lamar dia. Kenapa?"

"Iya. Gue tau lo sayang banget sama dia. Tapi coba mikir masa lo yang ngelamar dia? Dia kan, cowok, Je."

Rasanya jantung Putra ingin keluar dari tempatnya. Sesayang itukah Jean pada Lingga? Entahlah. Putra tersenyum miris. Kasihan dengan dirinya sendiri. Tetapi dia harus tau diri.

Jean langsung tertawa terpingkal-pingkal dan mengusap wajah Putra. "Astaga! Muka lo tolong dikondisikan dong. Gue ngakak, sumpah!"

Seketika wajah Putra menjadi pucat dan napasnya terasa sesak. "Put! Lo kenapa?"

Baru saja pertanyaan itu Jean lontarkan, Putra langsung tak sadarkan diri. Beberapa orang di sana membantu Jean untuk mengangkat Putra menuju mobil Putra. Untung saja Jean tau mengendarai mobil.

Dengan panik Jean mengendarai mobil tersebut dan nyaris menabrak. Air matanya tidak berhenti menangis bahkan saat Putra sudah masuk ke dalam UGD.

Beberapa menit kemudian Pia dan Pika datang. Pia langsung membawa Jean ke dalam pelukannya. "Puput... Puput kenapa, Bun? Tiba-tiba nggak sadar. Ini salah Jeje, Bun."

Jeje terus menangis dan Pia berusaha menenangkannya. "Nggak. Jeje nggak salah. Putra cuma kecapean. Berhenti nangis, ya. Putra bakal baik-baik aja."

Sekitar dua puluh menit akhirnya dokter keluar. "Apa anda keluarga pasien di dalam?" tanya si dokter muda itu.

Pia mengangguk cepat. "Saya Ibunya, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?"

"Bisa ikut ke ruangan saya? Ada yang ingin saya sampaikan."

Pia mengangguk dan sang dokter langsung pergi bersama Pia yang tetap tenang. Sedangkan yang tersisa hanya Jean dan Pika yang memeluknya.

"Putra kuat. Ini bukan salah lo. Jangan nangis. Kalau Putra tau, dia bakal marah. Berhenti nangis, ya."

Met PlezierTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang