07

789 98 9
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Rel, dapet surat lagi gue," ucap Tata sambil menunjukkan satu amplop.

Tata dan Aurel sedang duduk di salah satu kursi kantin. Lengkap dengan soto dan es teh di hadapan masing-masing, mereka mulai bercerita—atau bergosip.

"Udah lo buka?" tanya Aurel kemudian menyeruput es tehnya.

"Belum, sih."

"Buka dong! Mau tau gue, penasaran," suruh Aurel bersemangat.

"Kalo begini aja ya," cibir Tata.

Tangan Tata mulai membuka amplopnya.

"Buset!" seru Tata. "Alah, Dit! Gitu mulu lu!"

Lagi-lagi, surat yang belum dibaca oleh Tata, sukses diambil Radit yang tiba-tiba datang. Radit tetap menjadi Radit yang selalu menyebalkan di mata Tata.

"Mau baca, Ta," kata Radit.

"Gue aja belom baca, lu main serobot aja!"

"Ya nggak apa-apa lah, siapa tau isinya macem-macem ya, kan?" kata Radit. "Udah baik gue mau jadi tameng lu!"

"Apaan? Lu kira body guard apa?"

Aurel tertawa kecil melihat perdebatan tidak bermutu dari Radit dan Tata. Kedua anak itu selalu sukses membuat orang di sekitarnya geli melihat tingkahnya. Masalah begitu saja, ributnya setengah mati.

"Apa lo ketawa?" Tawa kecil Aurel sukses membuat mata Tata menjadi buntang.

"Nggak, nggak. Lanjutin aja," sahut Aurel masih dengan kekehan kecilnya.

Tata berusaha meraih amplop di tangan Radit yang duduk di meja seberang.

"Ini kan bukan punya lo," interupsi salah satu suara.

Si pemilik suara berdiri di sebelah meja Tata. Ia meraih amplopnya.

Tata mendongak. "Eh?"

"Apa sih, lo? Ikut-ikut aja," kata Radit ikut mendongak.

"Ghani?" cicit Aurel lalu menyenggol lengan Tata. "Ghani tuh," bisiknya.

"Oh?" Tata bingung. Berarti bener dong yang ngirim dia?

"Ini kan surat buat Tata," kata Ghani menyerahkan amplop yang tadi berhasil ia raih.

"Nggak usah ikut campur, Ghan," kata Radit penuh penekanan.

"Masalahnya itu dari gue! Berhak dong gue ikut campur?" Ghani menaikkan suaranya.

"Dit," peringat Tata kalem.

Walaupun Radit penuh dengan tingkah menyebalkannya, kadang ia juga bisa mendadak serius kalau ada sesuatu yang menggangunya.

Radit berdecak. Dengan kesal, ia meninggalkan meja Tata.

Tata menghela napas. "Jadi, ini dari lo?"

Ghani mengangguk. "Padahal nggak pengen ngaku dulu, tapi greget liat Radit."

Tata manggut-manggut. "Balik, yok, Rel."

Aurel tersenyum penuh arti. Gadis itu senang mendapat tontonan baru, Tata seperti pemeran drama yang direbutkan dua laki-laki. Aurel tertawa kecil membayangkan.

"Apa si lo, sarap!" kata Tata. "Duluan, ya Ghan."

Mereka bahkan belum berkenalan secara resmi, tapi Tata sudah merasa enggan duluan.

***

"Nih." Tata menyodorkan amplop tadi  siang pada Radit.

Mereka tengah duduk di depan rumah Radit. Malam ini secara khusus Tata mengetuk pintu rumah Radit. Habisnya, semenjak pulang bersama tadi, Radit terus-terusan diam. Sepertinya masih kesal masalah di kantin.

"Kan bukan urusan gue," kata Radit.

"Halah bocah," cibir Tata.

"Ya udah lah, balik rumah aja gue," kata Tata berdiri.

"Bacain." Radit menahan tangan Tata.

"Nggak lulus SD apa lu minta bacain?"

Bagaimana pun, cuma Radit yang ada waktu Tata melewati masa sulitnya. Dari dulu sampai sekarang, masih seperti itu. Meski sering kesal karena Radit menyebalkan, tetap saja, Tata tidak mau Radit mendiamkannya.

***

[✔] Not a Good Childhood Friend - 31DWCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang