***
Gadis itu menghela napas, ia memilih diam atas pernyataan Radit barusan. Mengenai sayang, Tata sendiri masih bingung. Masalahnya, mereka tumbuh bersama, sudah pasti ada ikatan lain yang tidak biasa. Hanya saja, Tata bahkan belum mengerti sayang seperti apa yang ia miliki. Ia sudah terbiasa terhadap keberadaan Radit. Maka, jika Radit hilang, tentu Tata akan merasa kehilangan. Sekali lagi, ia sudah terbiasa terhadap keberadaan Radit.
Tata mengambil obat merah lalu menteskannya pada luka Radit yang sudah dibersihkan. Radit meringis perih, tapi membiarkan Tata menjalankan kegiatannya.
"Perih nggak sih, Dit?" tanya Tata menyiapkan perban dan plester.
"Heh, menurut ngana?" sahut Radit sewot.
Beberapa menit kemudian, luka Radit sudah tertutup sempurna.
"Beuh, pinter juga lu. Jadi suster aja," kata Radit.
"Ya lu pasiennya mau?" Tata berdecak. "Eh, nanti ditanyain ortu lu gimana?"
"Ditanyain ya jawab, kalo diem aja dikira bisu."
Tata kembali berdecak. "Nggak gitu. Gue kan nggak enak, kemarin udah kena tonjok sama papa, sekarang begini. Nggak punya muka gue buat ketemu ortu lu."
"Bilang aja, melindungi istri masa depan."
"Halah," cibir Tata.
"Jadi istri gue yuk, Ta?" tanya Radit enteng.
Tata mendelik. "Lulus aja belom!"
"Ya besok besok besok besok besok maksudnya," kata Radit.
"Ngajak jadi istri kayak ngajak main sepeda."
Radit terkekeh. Tata pamit sebentar mengembalikan kotak P3K.
Di tempatnya, Radit menatap satu foto berfigura. Itu foto keluarga Tata, saat Tata masih SD sepertinya. Sungguh, sebelumnya mereka keluarga yang bahagia, nyaris sempurna. Radit melihat Adi sebagai seorang papa memiliki jiwa prestise. Wajahnya penuh kebijaksanaan dan raut menyenangkan jika sudah menyangkut keluarganya. Sedangkan Ike, meski tidak melihat wajah keibuan padanya, Radit menilai Ike sebagai ibu yang penyayang, yang begitu hangat ketika menghadapi Tata yang merajuk.
Tidak tahu sejak kapan tepatnya, pandangan Radit pada dua orang tua itu kabur perlahan. Mereka yang membentuk Tata menjadi seperti ini. Galak dan sedikit ketus. Tidak terlalu penting bagi Radit sebenarnya, ia tetap menyenangkan di pandangan Radit bagaimana pun keadaannya.
"Makasih loh, Dit," ucap Tata yang sudah kembali. Ia duduk di sebelah Radit. "Sumpah, makasih."
Radit merentangkan tangannya. Kemudian, disambut Tata yang menghambur ke peluknya.
Lukanya masih perih, Radit berusaha sehati-hati mungkin menggerakkan lengannya. Tangannya yang tidak terluka terangkat, mengusap rambut Tata.
"Ta, I need to tell you something," kata Radit.
Sepertinya, Tata tahu apa yang akan Radit katakan.
Ia tidak mau mendengarnya. Setidaknya belum, tidak sekarang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Not a Good Childhood Friend - 31DWC
Teen FictionBukannya apa-apa, masalahnya Radit ini menyebalkan sekali bagi Tata. Ia selalu mau tahu urusan Tata, selalu merecoki apa pun yang menjadi masalah Tata, bahkan sampai meributi siapa pun yang mendekati Tata. Sampai sedetail itu, makanya Tata sering ke...