2. Kadang Jingga Itu Kelabu, Na

48.7K 2.2K 139
                                    

Motor kopling yang kukendarai membelah jalanan ramai ibukota

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Motor kopling yang kukendarai membelah jalanan ramai ibukota. Langit menguning dengan semilir angin yang mencipta perasaan sejuk di tengah kepulan asap dari kendaraan-kendaraan lainnya. Aku mengutak-atik kaca spion agar bisa melirik ekspresi Ina. Ketika sampai di lampu merah, senyumku merekah melihat sorot bahagia Ina yang terpancar cantik dari sepasang netranya.

"Langitnya masih kalah cantik sama kamu yang sebahagia ini, Na," ujarku yang langsung dihadiahi tawa oleh gadis itu.

"Dan langit yang secantik ini bisa sempurna kalau lihatnya sama kamu di dekat aku," balasnya yang sontak membuatku mengulurkan tangan ke belakang untuk mengusap kepalanya.

Lampu lalulintas itu beralih menjadi hijau. Kulajukan kembali montorku ini. Berkeliling menyusuri jalanan Jakarta yang padat dengan kecepatan lirih. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk kami, memperpanjang waktu kebersamaan meski nyaris setiap hari kami bertemu.

"Kenapa orang-orang itu nggak ada yang lihat langit, ya, Ndra?" tanya Ina lirih, tetapi untungnya masih bisa kudengar meski semilir angin mencoba menyamarkan suara indahnya.

"Untuk sebagian orang, kadang jingga itu kelabu, Na."

Sudah kuduga, Ina akan mendekat ke pundak kiriku, bertanya penasaran, "Maksud kamu?"

"Nggak semua dunia yang orang-orang punya seindah dan sebaik milik kamu. Nggak semua warna cantik senja bisa menenangkan mereka yang terlalu lelah ngadepin kerasnya kehidupan," ujarku menjelaskan.

Kalimatku yang selalu rumit membuat Ina hanya mengangguk sok paham. Lagi, aku tersenyum maklum.

Andai kamu benar-benar bisa mengerti tentang apa yang aku katakan, Na. Kalau kadang, jingga itu kelabu bagiku. Kuharap kamu tak akan pernah merasakannya.

Bulan sabit dengan remang cahayanya pelan-pelan menampakkan diri, mempercantik langit yang menguning dengan awan-awan lucu di sekelilingnya. Motor yang kukendarai terhenti tepat di depan gerbang besi hitam yang di dalamnya terdapat kediaman megah dengan berbagai tanaman hijau besar di halaman depannya.

Kurasakan Ina mulai turun dari motorku. Aku membantunya melepas helm. Kemudian, gadis itu tersenyum menatapku.

"Makasih, ya, Rendra. Sampai jumpa besok," ucapnya penuh ketulusan.

Sorot yang ditampilkan dalam sepasang matanya memijar selayaknya jatarupa. Bagaimana bisa seseorang sepertiku cukup mampu menahan diri untuk sekadar terpesona?

Tanganku terulur, membelai puncak kepalanya yang terbungkus hijab dengan rapi.

"Sama-sama, Ina. Harusnya aku yang makasih. Makasih udah kasih lihat senyum kamu tanpa henti hari ini. Sampai jumpa besok. Assalamualaikum."

Usai membalas salamku, gadis itu berjalan masuk ke kawasan rumah besarnya setelah satpam membukakan gerbang. Aku masih terus mengamati langkah Ina hingga ia sampai di depan pintu.

Pandanganku teralih ketika kudengar Pak Aji-satpam rumah Ina berteriak, "Mas Rendra buruan pulang, Mas! Habis ini Bapak pulang!"

Pak Aji memang mengenalku dengan baik. Karena sejak dulu, ketika aku mengantar-jemput Ina, hanya satpam itulah yang tahu. Ayah Ina selalu sibuk dan jarang di rumah, sedangkan ibunya sudah meninggal saat melahirkan Ina.

Menyadari raut panik Pak Aji, aku terkekeh pelan. Ayah Ina tidak memperbolehkan putrinya itu pacaran dengan alasan pendidikan. Salahkan saja aku yang nekat menjadikan Ina pacar meski aku tahu sekeras apa Ayah Ina jika memergoki anaknya pergi bersama seorang laki-laki.

"Semangat kerjanya, Pak. Titip Ina-nya Rendra, kalau ketahuan nangis telpon saya, ya," ujarku yang langsung dihadiahi jempol oleh beliau.

Lalu, aku melajukan motor bututku ini menjauh dari kawasan tersebut. Motor butut, hahaha. Astrea lawas peninggalan Ayah dengan kerusakan dan lecet di beberapa sisinya, apakah masih layak kusebut dengan kata selain 'butut'?

Jujur, kadang aku kasihan pada Ina. Ia gadis cantik, pintar, anak tunggal kaya raya, yang mungkin selalu dimanjakan oleh Ayahnya. Harus terjebak hubungan dengan laki-laki serba kurang seperti aku, yang kalau dilihat dari segi ekonomi saja sangat rendah. Sehari bisa makan nasi sekali aja sudah alhamdulilah sekali. Semoga saja gadis itu bisa dapat yang lebih dariku. Tapi nanti dulu, ah! Aku semedi setahun dulu biar bisa ngerelain Ina.

***

Kuparkirkan motorku di sebuah warteg di pinggiran kota. Usai melepas helm, langkahku terhenti oleh tepukan tegas di pundakku. Seorang lelaki berambut gondrong dengan kumis tipis menatapku. Bang Ari. Alumni SMA Bestari-sekolahku kini, yang mengenalku karena ia dulu ketua korlap di SMA, dan aku salah satu anggotanya yang cukup aktif.

"Yakin nggak butuh duit, Ndra?" tanya Bang Ari, kulihat alisnya terangkat sebelah, tatapannya meremehkan.

Aku menggeleng pelan. Paham sekali ke mana arah pembicaraannya.

"Malam ini jam satu, tempatnya kayak biasanya, sih. Langsung meluncur aja kalau lo berubah pikiran." Bang Ari kembali menepuk pundakku. Tanpa menunggu jawabanku, ia lantas naik ke atas moge miliknya dan melaju pergi.

Aku tersenyum kecut. Sudah sebulan aku tidak memijak wilayah kelam itu. Berhenti dan kapok karena Ibu yang memergoki dan memarahiku habis-habisan. Mana mungkin aku kembali ke sana lagi?

Langkahku masuk ke dalam warteg yang tidak terlalu penuh. Memesan makanan, dan sembari menunggu pesananku disajikan, aku menatap hiruk-pikuk jalan raya. Terasa getar di saku seragamku. Telepon dari Ibu.

"Assalamualaikum, Ndra. Kamu dimana? Ina udah kamu antar pulang, 'kan?"

"Wallaikumsalam. Udah, kok, Bu. Ada apa emangnya?"

"Mbak Gina tadi telpon nagih uang kontrakan bulan ini. Ibu lupa belum bayar, konveksi tempat Ibu kerja lagi sepi. Uang simpenan Ibu udah abis buat bayar iuran sekolah kamu. Gimana, nih, Ndra? Ibu nggak enak sama Mbak Gina kalau kelamaan. Ini udah pertengahan bulan."

Terdengar nada cemas dari suara Ibu. Aku menghembuskan napas berat. Mencoba tenang, aku berujar pada Ibu, "Ibu nggak usah pikirin soal itu. Biar Rendra yang cari uangnya. Rendra habis ini pulang, kok. Rendra tutup dulu, ya, Bu telponnya. Assalamualaikum."

Usai sambungan terputus, aku mengusap wajahku kasar. Bersamaan dengan itu, ucapan Bang Ari tadi kembali terngiang di kepalaku.

Malam ini jam satu, tempatnya kayak biasanya, sih. Langsung meluncur aja kalau lo berubah pikiran.

Pandanganku beralih menatap langit sore ini. Cantik. Semburat jingga kekuning-kuningan dengan gumpalan awan-awan lucu, ditambah bulan sabit yang sudah mulai bersinar terang. Namun, kini jingga itu berubah kelabu.

Ini yang kumaksud tadi, Na. Secantik apapun langitnya, di mataku tampak biasa saja.

***

semoga sukaa💗💗💗

RemangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang