Sorai, Nadin Amizah.
"Mungkin akhirnya tak jadi satu
Namun, bersorai pernah bertemu"Saat itu sorai belum lahir, hanya ada potongan-potongan melodinya yang berirama cantik nan lirih. Menjadi pengiring tarian untuk dua insan kecil dengan panggung jingga dari alam raya, yang terlukis untuk keduanya.
***
Lonceng sekolah berdenting lama, disusul siswa-siswi SMA Bestari yang berhamburan keluar kelas mereka masing-masing. Aku---seperti hari-hari sebelum ini, menunggu Ina selesai kumpulan di kursi pohon dekat ruang OSIS. Mengambil selembar kertas kosong berikut pena dari dalam tasku, aku mulai menulis rangkaian kata.
"Halo!"
Sapaan itu terdengar sekian menit lamanya setelah aku menyelesaikan seluruh yang kutulis, membuatku mengalihkan pandang. Kulihat dari arah sana, Ina berlari ke arahku.
"Berangkat!" ucapku antusias. Dengan segera aku bangkit dan mulai akan berjalan, tetapi tangan Ina menengadah. Dengan wajah cantiknya ia berkata, "Mana puisi buat Ina hari ini?"
Tawaku mengalir singkat. "Hari ini lebih ke bukan puisi, sih. Memangnya kamu tertarik?"
"Cepaaattt!" Bukannya menjawab pertanyaanku, Ina justru kian mengulurkan tangannya ke depan.
Terpaksa, kuberikan secarik kertas yang kupegang kepadanya. Matanya tampakkan binar cantik. Sembari berjalan beriringan, Ina membaca tulisanku.
Rintik-rintik itu berubah deras seiring detik menganan. Kulihat langit menggelap ketika bahkan, hari belum terlalu petang. Dua pasang kaki melangkah dengan laju yang sama, tidak harus saling mengiringi. Kami pun tahu kalau tanah yang terpijak adalah satu.
Tak pernah kudengar ada kalimat mengenai: "Seluruh riang mutlak kepunyaanmu ketika kalian jadi satu."
Memang dasarnya tak ada yang selayaknya itu. Pada rintik yang kian surut, kita melangkah jauh. Saling berdebat dengan aku yang terus membersutkan ekspresi. Takkah kau lihat kilat takut pada salah satu netra sunyiku? Kurangkai diksi dengan cepat pada sepi-sepi hari, tetapi untuk ungkap sebuah rasa, cukuplah kau lihat dua mata yang pendarnya mengarahmu seluruh.
Meski mencintai tak harus penuh, perihal ikrar tak usah kepayahan beri penjelas, sifatnya utuh.
"Kalau jalan lihat-lihat, dong!"
Karena terlalu fokus melihat kertas yang dipegangnya, Ina tak memperhatikan sekitar. Alhasil, salah satu siswa yang ia tabrak secara tidak sengaja. Ina langsung merundukkan badan dengan gestur tangan menangkup di dada untuk meminta maaf.
"Hati-hati," ucapku memperingati Ina seraya merangkulkan tanganku sejenak ke pundaknya. Dan tibalah kami di dekat gerbang.
Tak lagi banyak siswa berhamburan ke luar, tetapi masih ada beberapa siswa, di antaranya anggota OSIS, MPK, anak-anak paskibra di lapangan depan, dan lapangan dalam sekolah yang menjadi tempat anak-anak pencak silat latihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remang
Novela JuvenilUntuk perempuan secantik dan sebaik Ina, mana mungkin aku tahan untuk tidak menceritakannya kepada semua orang? Dalam bentuk tulisan yang kucoba rangkai seindah sosoknya, aku harap ia abadi selamanya bersama kenangan yang pernah ada. Selamat membaca...