7. Padika dan Kanjuruhan

29.5K 1.1K 54
                                    

"Kenapa kita nggak beli di Mas-mas itu, Ndra? Dari tadi nawarin aku terus, kasihan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa kita nggak beli di Mas-mas itu, Ndra? Dari tadi nawarin aku terus, kasihan." Ina berbisik padaku. Pandangannya mengarah ke lelaki dewasa dengan setumpuk tiket yang ia genggam, yang tanpa henti menawarkan tiket ke sana-ke mari.

"Itu namanya calo, Na. Kalau beli tiket di calo pasti harganya membengkak. Lagipula kita udah beli tiket," ujarku mencoba menjelaskan.

Ina mengangguk mengerti, tetapi arah pandangnya tak kunjung beralih dari tempat semula.

"Misal harganya 30 ribu, di calo bisa aja 300 ribu. Coba kamu hitung selisihnya, nggak main-main, 'kan?" lanjutku.

"Hah? Parah banget!"

"Mas, mending jualan es cekek, deh!" Tiba-tiba saja, gadis itu berteriak. Aku meringis malu.

Kami sedang mengantre panjang menuju gate 13, tentu saja banyak sekali orang di sekeliling kami, yang sontak menyorot Ina. Untung saja Ina sudah memakai jaketku, jadi tidak ada yang melihat baju yang Ina pakai.

"Rendra, aku nggak hafal lagu-lagu Arema atau pun Persija, nanti di sana aku ngapain, dong?" Ina mengerucutkan bibirnya.

Aku tersenyum simpul. "Kamu goyang itik aja, Na. Biar aku yang nyanyi."

Mendengar kelakarku, Ina menatapku dengan mata yang menyipit kesal.

"Sajete, Jak!" Seseorang menyapaku dari samping. Laki-laki. Memakai jersey tim kebanggaan ibukota.

Aku membalasnya dengan senyum dan jemari membentuk simbol Jakmania. Lalu bertanya, "Prediksi berapa-berapa, nih, Bang?"

Seraya tertawa, ia menjawab, "Gue mah kalau ada BP punya keyakinan sendiri: Menang nggak kaget, imbang senyum tipis, kalah mustahil."

"Tapi Gonzales bahaya, Bang."

"Selow," ucapnya.

"Btw gue Andri, Jakmania bagian Selatan. See you di tribun, yak!" Laki-laki yang kuketahui bernama Andri tersebut menepuk pundakku akrab. Lalu ia melangkah masuk melewati pintu yang menuju tribun.

Ketika mendekati kick off, orang-orang yang semula sabar menjadi berdesak-desakan. Ina nyaris terjatuh jika aku tak segera menariknya ke depan.

"Ati-ati, Mas. Cewek saya bisa jatuh," peringatku pada segerombol lelaki yang mencoba menyerobot antrean kami.

Akhirnya setelah mengantre panjang, kami berhasil masuk dan menduduki tribun. Posisi kami di tribun atas. Pertandingan sudah dimulai ketika kami sampai ke dalam. Seluruh suporter dari sisi mana pun mulai menyanyikan chant dipadukan dengan koreo indah. Teman-teman Aremania menyambut baik Jakmania yang away ke Malang.

Menoleh ke samping, kudapati Ina menutup telinganya dengan kedua tangan.

"Kenapa, Na?"

"Ih, berisik banget, Ndra! Aku nggak bisa dengar suara kamu!" Ina berujar lantang, tetapi tetap saja suara sekeras apapun akan kalah dengan nyaring ribuan suporter yang bernyanyi.

RemangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang