18. Akhiranku, Turutlah Pergimu

29.1K 1K 82
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Kami dihantam canggung luar biasa. Sampai akhirnya Ina membuka suaranya untuk bertanya, "Kamu sekarang kerja di sini, Ndra?"

Aku mengangguk. "Bisa dibilang begitu. Tapi, aku juga ikut bangun kedai ini. Ya, intinya kami usaha sama-sama lah."

"Keren banget," ucap Ina apa adanya.

Ina sudah selesai dengan makanannya. Sembari tangannya mengutak-atik tas untuk mengambil dompet, ia berkata, "Makasih, ya, Ndra. Maaf ngerepotin, padahal tadi mau tutup."

"Oh ya, jadi totalnya berapa?"

"Nggak, nggak usah," ujarku menolak.

Dijawab Ina dengan gelengan keras. "Nggak bisa gitu, dong!"

"Nggak pa-pa, anggap aja Rabu berkah." Tawaku mengalir di akhir kalimat.

"Jangan gituuu, tadi aku bilang mau bayar dua kali lipat, masa malah nggak bayar sama sekali?"

"Kamu bayar pakai cara lain aja."

"Hah?"

Melihat Ina mengerutkan alisnya kebingungan, aku tersenyum singkat dan berkata lirih, "Dengan cara sehat terus."

Berharap lirihan itu mampu mengantarkan seluruhnya keinginanku untuk melihat Ina sehat dan bahagia, selalu.

Ina sempat tertegun sejenak. Namun, seolah mengalihkan, ia kembali berujar, "Ndra? Serius, deh. Berapaaa?"

"Nggak pa-pa, nggak usah."

"Udah, cepet pulang, keburu deras lagi."

Aku berdiri, dan langsung diikuti oleh Ina. Ia kemudian mendahuluiku keluar dengan langkah cepat, sampai-sampai melupakan tasnya. Mengingat tasnya yang sangat berat itu, aku inisiatif membawanya.

"Eh, astaghfirullah lupa. Makasih, ya, Ndra." Aku membalasnya dengan anggukan.

Seraya menyerahkan tasnya itu, aku mulai mengeluarkan sesuatu yang memenuhi sudut kepalaku akhir-akhir ini.

"Na, tentang ucapan kamu pas di taman Cattleya itu, kita memperbaiki diri masing-masing aja, ya? Perihal bertemu lagi atau nggak, kita pasrahin aja ke Allah. Yang penting sekarang, kita harus tetap berjalan ke depan. Ya?"

Kepalanya mengangguk pelan. "Terimakasih udah ngertiin aku, Ndra. Terimakasih juga udah bikin aku sadar lagi karena sempat bimbang."

Ina mulai menaiki motornya. Sebelum motor itu melaju pergi, aku bertanya, "Kamu ingat?"

"Aku nggak pernah sendiri. Aku masih punya Allah ketika bahkan, nggak ada seorang pun yang peduli sama aku," ujar Ina dengan sorot hangatnya yang mengarah penuh ke arahku.

Dengan rintik hujan yang per detik berjalan berangsur menghilang, Ina melajukan motornya meninggalkan tempat ini. Salamnya yang diucapkan merdu dan penuh kelembutan selayaknya gema manis oleh telingaku, "Assalamualaikum."

"Wallaikumsalam. Hati-hati!"

Aku beringsut mundur. Duduk di kursi depan. Menarik-embuskan napas berulang. Detak jantungku terus mengencang, terlebih ketika mengingat soal tadi. Kami bicara banyak hal. Kami mengungkapkan banyak hal. Kami menyelesaikan banyak kerumitan. Kami mencoba untuk tetap berjalan ke depan.

Ketika melihat ke samping, tepatnya di meja, selembar uang lima puluh ribuan terletak di atasnya. Di samping itu, terdapat kertas kecil dengan tulisan: Terimakasih banyak-banyak.

Jika bulan sabit hari ini tidak tampak, salahkan Ina yang menjatuhkan penghuni langit cantik itu dalam bentuk senyumku.

Detik setelahnya, dalam sudut pikiranku tertulis serangkai kata. Untuk membuat seseorang abadi dalam tulisanku yang payah ini.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

Akhiranku, Turutlah Pergimu

Detakku selalu jadikan relungmu tuju
Namun, untuk bawana
yang pada rintik ke berapa
kita anggap sepenuhnya fana,
berakhir tetap sama-sama
bukankah Tuhan sebut sia-sia?

Terbukti, pijak kita di satu bumi
Coba hitung, kira-kira berapa kali
kaulantunkan ingin perihal mati?
Dan aku bukan rumah
Dan rintik sendumu jangan tumpah ruah
di pundak, di sisi---di seluruhku

Sayangku, untuk saling terikat
juga melibatkan waktu
Kulantunkan akhir,
seturut dengan langkah menjauhmu
Dan kalimat terakhir,
bila mampu dengar
penyebutan sia-sia oleh Tuhan

Ardika Rendra.
Jakarta, Januari 2016.

***

Rendra lahir dari harap-harap besar seseorang mengenai sebuah pengakhiran. Rendra lahir dari harap-harap besar seseorang yang terjebak pada suatu kerumitan yang sama, untuk kemudian menyelesaikannya seperti yang dilakukan oleh Rendra---dan Ina.

***

pendek sekali, maafff yaaa ༎ຶ⁠‿⁠༎ຶ

sampai jumpa lagi di bab selanjutnyaaa ♡₊˚ 🦢・₊✧

RemangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang