9. Rendra, Ina, dan Om Wira

28.3K 1.2K 36
                                    

Pagi-pagi buta aku sudah datang ke sekolah. Tanpa kuberitahu maksud dan tujuanku melakukan ini, tentu kalian sudah tahu.

Aku memarkirkan motorku ke parkiran luar sekolah, letaknya tak begitu jauh, hanya berjarak beberapa bangunan saja. Keuntungannya adalah, bisa kulihat Ina turun dari mobil yang mengantarkannya sampai gerbang depan yang masih lengang akan siswa masuk.

Kulangkahkan kakiku mendekat. Berniat menghampiri Ina, tetapi urung ketika Om Wira turut turun dari mobil dan tampak berbicara dengan Ina. Posisiku yang tidak terlalu jauh bisa sedikit demi sedikir mendengar obrolan mereka.

"Jaga kepercayaan Ayah baik-baik. Larangan dalam Islam nggak bisa dinegosiasi. Ayah ngelarang kamu pacaran bukan berarti ayah kuno, sama sekali nggak. Ayah tahu jatuh cinta di masa SMA adalah kata lain dari kerusakan rencana-rencana kamu kedepannya."

"Ina, kamu bisa manfaatin Ayah kamu yang serba bisa ini untuk apapun."

"Semangat sekolahnya, Kakak OSIS!"

"Oh iya, nanti dijemput sopir, ya. Ayah kayaknya sampai malam di kantor."

Om Wira mengelus puncak kepala Ina penuh sayang. Aku mendengar semuanya. Memahami semuanya. Pandanganku yang kosong ke depan membuatku tak sadar jika kini atensi Om Wira sedang terarah padaku.

"Rendra?"

Aku tersentak mendengar seruan itu. Langkahku maju hingga sampai di dekat dua orang tersebut. Kujabat lalu kuarahkan tangan beliau ke dahiku sejenak dan kuukir senyum sopan.

"Gimana Ina? Aman-aman aja, 'kan? Sejak kecil kamu yang paling paham soal Ina."

Mendengar Om Wira bicara seperti itu membuat lidahku kelu untuk menyahut. Ina yang peka langsung membalas ayahnya, "Rendra di Ips, Yah. Mana tahu soal aku."

Om Wira tergelak singkat.

"Kalau ada cowok yang deketin Ina, lapor ke saya, ya. Ina tuh ibaratnya berlian buat saya, harus dijaga mati-matian keindahan dan kemurniannya," ujar Om Wira entahlah berarti sebagai kelakar atau ada makna lain dibalik kalimat itu.

Aku hanya tertawa lirih menanggapinya. Kulirik Ina yang menautkan jemarinya di bawah, ekspresinya terlihat santai, tetapi untuk aku yang sudah mengenal dan memiliki hobi menelaah sifat-sifat Ina, aku paham benar bahwa kini ia sedang panik.

"Yaudah, saya pamit dulu, ya. Ayah pergi, ya, Na. Assalamualaikum."

Untungnya, Om Wira lekas pergi tak berselang lama setelah itu.

"Wa'alaikumsalam."

Ina menjawab salam dengan lirih. Pandangannya terus lurus mengamati mobil ayahnya yang mulai melaju jauh. Menatapku sejenak, Ina justru terlihat emosional. Ia lantas berjalan mendahuluiku memasuki gerbang SMA Bestari. Aku mengikutinya dari belakang hingga langkah kami berhasil sejajar.

Menghela napas panjang, aku tahu apa yang harus kulakukan.

"Aku serahin semua keputusan sama kamu, Na. Sekarang aku sadar, aku nggak berhak maksa buat bertahan. Aku paham kamu pasti sebingung itu akhir-akhir ini. Tapi kalau nanti kamu udah siap buat keputusan, jangan pernah takut buat sampaiin ke aku, ya. Aku juga udah persiapan buat itu."

Kalimat panjangku ditanggapi Ina dengan senyum tipis. Gadis itu menghentikan langkah tepat di depan gazebo kosong dekat ruang ekstra yang tampak sepi dari lalu-lalang siswa.

"Aku sayang sama kamu, Ndra. Sejak dulu. Nggak usah bilang pun pasti kamu udah tahu. Tapi kadang aku berpikir, ayah benar."

Sepasang mata cantik Ina menatap lurus ke arahku. Sorotnya sendu, tetapi tak kulihat selaput bening melapisi matanya. Hanya saja, terlalu sesak untuk menyelami netra itu lama-lama.

"Semakin besar, kita harus semakin patuh sama batasan, malu kalau terus-terusan ditentang. Dan kita udah melangkah terlalu jauh," ujar Ina. Aku mengangguk pelan.

"Nggak cuma sebelum ini aku berpikir soal perpisahan. Dari jauh-jauh hari otak aku udah penuh tentang ini. Tapi aku, kamu, kita, nggak sesederhana itu. Semua tentang kita terlanjur panjang, terkenang, dan sulit rasanya kalau harus ngerelain semuanya berakhir."

Meski berat, aku mengukir senyum setulus mungkin. Berusaha meyakinkan Ina bahwa aku benar-benar sudah siap terhadap apapun. "Kamu penginnya gimana?" tanyaku.

"Tiga hari. Aku butuh waktu tiga hari buat mikirin masalah ini. Aku mohon dalam waktu tiga hari itu, kita nggak berinteraksi. Bisa, Rendra?"

Aku mengangguk. Mencoba mencairkan suasana, aku berceletuk, "Nikahin kamu besok aja boleh nggak, sih?"

"Rendraaaa."

Aku tersenyum lebar mendengar panggilan gemas itu. Sebelum sama-sama pergi, aku menawarkan sesuatu, "Nanti sore, ya?"

"Aku dijemput sopir, Ndra."

"Bilang kalau kelompokan, please?"

Menatapnya penuh harap, untuk kali ini kumohon ia mau berbohong lagi. Langitku sudah sedemikian kelabu, aku ingin melihat senja. Dan semburat jingga itu tak pernah ada jika pasang mataku melihatnya seorang diri.

Akhirnya, Ina mengangguk pasrah.

"Makasih banyak-banyak, calon mantan Rendra," ujarku secepat kilat seraya menepuk pelan puncak kepalanya, lalu melesat pergi tanpa menunggu respons Ina.

Ina tidak tahu jika langkahku kini menuju gerbang belakang yang masih terbuka ketika bel masuk belum berbunyi. Terimakasih banyak-banyak untuk Bu Intan selaku pemilik karena mendirikan warung di dekat sekolah, tepatnya bagian belakang. Langkah pertama, kudapati banyak sekali siswa berseragam abu putih masih bersantai di sini.

"Ndra!" seru Gilang dari pojok kanan. Ia tampak bersama dua orang temannya. Aku menghampirinya lalu duduk di kursi depan Gilang yang kosong.

"Bang Ari kemarin hubungin gue, katanya hari ini sama besok lusa. Lo mau yang mana? Biar satunya gue, hehe." Baru saja duduk, Gilang sudah menyuguhinya dengan pembahasan berat seperti ini.

"Lo yang hari ini aja. Oh ya, jam?"

"Biasa, Bro. Ini deal, ya?" Gilang bertanya memastikan. Aku mengangguk sekali lagi.

Gilang merogoh sakunya, mengeluarkan satu pack rokok dan melemparnya ke meja. Dua temannya langsung mengambil satu putung rokok masing-masing. Melihatku yang diam saja, Gilang berkata, "Gue tahu gue sesat terus-terusan nawarin lo ini, tapi kalau buat jadi pendengar masalah lo, nggak dulu ye hidup gue juga lagi rumit. Cepet ambil."

Aku pun mengambilnya berikut korek yang terletak di atas meja. Membakar ujung rokok itu dengan cepat lalu menyesap ujung yang lain. Asap mengepul ke udara setelahnya.

"Bro, lo away ke Kanjuruhan waktu Persija vs Arema, yak? Gue kayak lihat muka lo di tribun atas," ujar salah satu teman Gilang.

Aku mengangguk, lalu bertanya, "Lo di tribun yang mana?"

"Awalnya gue di bawah lo dikit, tapi pindah ke tribun berdiri."

Gilang ikut nimbrung ke obrolan, "Lain kali kabar-kabar kalau mau nribun, dong, Ndra. Lu mah sukanya solo."

"Hahaha gue sama cewek gue waktu itu," jawabku tanpa menutup-nutupi.

"Pengalaman gue bawa cewek gue ke GBK, ribet banget monyet. Gue disuruh diem nggak boleh ikut nyanyi, katanya berisik. Lah, dikira nonton film kali, ya? Abis itu nggak lagi, deh! Gue pecahin waktu buat cewek sama bola. Yang jelas prioritas tetep Persija hahahah." Teman Gilang yang tadi bercerita.

Aku membalasnya dengan tawa.

"Ina, tuh, beda. Selalu beda dari yang lainnya. Itu yang ngebuat dia jadi lebih istimewa. Gue sayang banget sama dia."

***

😵😵😵

RemangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang