Pagi itu aku kalut. Hari demi hari setelah aku dan Ina ke Kanjuruhan malam itu, kami kehilangan banyak waktu bersama. Terhitung sudah nyaris seminggu. Ketika ingin pulang dengannya, atau mengajaknya berjelajah senja sore, alasannya selalu sama: sibuk organisasi.
Seperti tempo hari ketika kami berbincang via telepon, ia berkata, "Ulang tahun sekolah sebentar lagi. Kamu jangan egois minta waktu terus. Aku nggak bisa. Fokus aku sepenuhnya buat acara sekolah untuk saat ini. Kalau kamu nggak bisa menerima itu, ya terserah kamu mau gimana."
Kalimat yang seolah mengarah ke perpisahan. Yang kaitannya selalu perihal takut.
Enggan pasrah dan menyerah cepat, ketika bel istirahat berdenting aku bergegas menuju kelasnya. Kulihat Lestari hendak keluar dari kelas.
"Tari, Tari!" panggilku dengan langkah cepat menghampiri gadis itu.
Lestari tampak terkejut. Pasang netranya berpendar ke arah lain, seolah menghindariku. Langkahnya seperti ingin beranjak pergi dengan buru-buru.
"Kamu kenapa kayak takut gitu? Aku cuma mau tanya soal …." Belum sempat kalimatku terselesaikan, kulihat Ina berjalan ke arahku dari dalam kelas.
"Nanti aja, Rendra. Aku mau kumpulan." Begitulah Ina berujar kepadaku. Kakinya bersiap melangkah, tetapi dengan cepat kuraih lengannya. Aku berdiri menghalangi kepergiannya.
"Kamu selalu bilang nanti tapi akhirnya pulang dulu. Aku lewat ruang OSIS nggak ada apa-apa. Nggak ada alasan buat ngehindar hari ini, Na."
Ina berusaha menarik tangannya. Bola mata hitamnya yang selalu menyorot antusias itu redup. Binarnya lenyap. Arahnya enggan ke mari. Padahal pusat pandanganku kini sepenuhnya hanya pada gadis itu.
"Ada apa, Na? Kamu baik-baik aja, 'kan? Apa ada masalah yang ngebuat kamu bingung harus gimana? Cerita, dong. Pintunya masih selalu terbuka, tapi kamu udah jarang berkunjung sekarang. Rumah yang nyaman jangan sampai terbengkalai." Aku berkata banyak. Penuh makna yang semoga saja dapat dipahami dengan baik olehnya.
Lestari sudah beranjak dari tempat kami berpijak. Melihat keterdiaman Ina, aku menariknya pelan menuju kursi besi panjang yang berada di depan kelasnya. Begitu kami duduk, Ina menarik tangannya menjauh. Dengan gerakan yang sedikit kasar.
"Aku ada salah, ya?"
"Kamu dimarahin Om Wira karena waktu itu?"
"Aku minta maaf."
"Nggak ada yang selesai dengan diam, Na. Kamu pernah bilang kayak gitu."
Aku terus berujar sementara Ina diam dengan pandangan berpaling ke arah lain. Menit berjalan cepat, jemari Ina naik dan mendarat di pipinya. Gerakannya seperti mengusap bekas airmata. Aku berdiri, beralih posisi menjadi jongkok di depannya. Sepasang matanya berkaca, dan ya, tampak bekas airmata yang mengalir bebas di pipinya.
Dengan suara sedikit bergetar, Ina berkata, "Nanti aja sepulang sekolah, Ndra. Aku ada ujian kimia setelah ini, mau belajar sebentar."
"Yaudah, tapi janji, nanti nggak---" ujarku yang terpotong oleh seseorang yang menyerukan namaku, "Ndra!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Remang
Novela JuvenilUntuk perempuan secantik dan sebaik Ina, mana mungkin aku tahan untuk tidak menceritakannya kepada semua orang? Dalam bentuk tulisan yang kucoba rangkai seindah sosoknya, aku harap ia abadi selamanya bersama kenangan yang pernah ada. Selamat membaca...