Jakarta, Desember 2015.
Seorang gadis cantik melangkah ke arahku. Terik mentari siang hari yang menyilaukan mata, tak menghalangi aku untuk menangkap pendar antusias dari matanya yang cantik. Mahkotanya terbungkus sempurna dengan hijab segiempat. Senyumnya yang melengkung semakin lebar per detik, membuat dunia seakan berhenti beroperasi ketika itu.
Namanya Ina Padika. Orang-orang memanggilnya Ina. Lebih bagus kalau ditambah kata "cantik" sebagai nama tengahnya. Ina Cantik Padika. Indah sekali, bukan?
"Bagaimana Ina di hari ini? Baik-baik aja? Bahagia? Atau ingin menangis?" tanyaku beruntun, saat sosoknya sudah berdiri tepat di hadapanku.
Ina tersenyum kecil. Aku meraih tas berat yang tersampir di bahunya, beralih menyampirkannya ke bahu kananku. Sejak dulu aku selalu ingin memarahi gadis itu, karena selalu membawa banyak buku. Sangat berbeda dengan tasku yang hanya berisi satu buku kosong dan pulpen pinjaman teman sekelas yang lupa aku kembalikan.
"Ada ujian bahasa Inggris mendadak. Aku nggak ada persiapan. Takut kalau nanti nilainya buruk," ujarnya. Kami melanjutkan langkah dengan sesekali membalas sapaan kawan-kawan yang masih singgah di emperan kelas, padahal jam pulang sudah dari tadi.
Melihat kegelisahan di balik raut wajahnya yang tenang, aku angkat suara, "Hei, kamu pernah bilang. Untuk bisa menaklukkan sesuatu, kamu harus menyukainya dulu."
"Kamu suka banget sama bahasa Inggris. Aku percaya hasilnya nggak bakal ngecewain. Sangat percaya kalau kamu bisa," sambungku yang langsung dibalas senyum cantiknya.
Matanya tampak berkaca-kaca. Oh, ayolah. Ina mudah tersentuh oleh hal-hal kecil seperti ini. Tidak, untuk hari ini tak boleh ada tangis.
Aku membelai penuh kasih puncak kepalanya. "Hari ini harinya Ina buat bahagia," ujarku.
"Terimakasih banyak-banyak, pacar Ina." Tanpa aba-aba, gadis itu berkata demikian. Kami sudah berpacaran setahun lebih, saling mengenal sejak lama, tapi mengapa reaksiku terhadap hal-hal manis yang dilakukannya tetap sama?
Debar menggila dan semburat merah samar-samar pada telinga. Dengan Ina, tak pernah ada kata bosan. Ia selalu bisa membuatku jatuh dengan segala sesuatu tentangnya, yang paling sepele sekalipun. Semua tentang Ina, aku menyukainya.
Ardika Rendra, lelaki yang enggan percaya soal cinta, berhasil takluk pada pesona Ina Padika. Hidupku terasa lengkap dengan kekurangan kecil yang seolah tak terlihat tiap kali Ina ada di sini---di sisiku.
***
Masa abu putih sudah kujalani nyaris dua tahun lamanya. Menginjak kelas 11, tentu aku harus lebih fokus dan serius. Terlebih di sini, hanya aku yang jadi harapan ibu. Ayah berpulang ke Sang Pencipta sepuluh tahun lalu, tersisa aku dan ibu yang tidur di kontrakan kecil di ibukota. Jakarta indah diluar sana, tapi di sini, tampak lusuh dengan sungai penuh sampah yang buat udara terasa buruk untuk diirup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remang
Genç KurguUntuk perempuan secantik dan sebaik Ina, mana mungkin aku tahan untuk tidak menceritakannya kepada semua orang? Dalam bentuk tulisan yang kucoba rangkai seindah sosoknya, aku harap ia abadi selamanya bersama kenangan yang pernah ada. Selamat membaca...