Dua hari berlalu. Malam Minggu ini kulalui begitu kosong. Hanya di rumah. Ingin menangis, tetapi malu. Aneh saja. Hingga malam tiba, aku hanya diam di teras setelah melaksanakan salat isya'. Masih mengenakan sarung. Setengah dari satu bungkus rokok berhasil aku habiskan. Gila. Untungnya Ibu hari ini lembur di konveksi, kalau tahu bisa dimarahin sampai tahun depan!
Kalau ada bintang, kamu lihatin aja terus, kamu bisa rasain aku ada di sekeliling karena lagi cari Bunda.
Kalimat Ina sebelum akhirnya perpisahan itu terjadi kembali terngiang dalam kepalaku. Berulang kali. Meski begitu, hadirnya sama sekali tak menganggu. Aku mendongak, menatap langit gelap yang entah berapa ribu bintang tersebar di dalamnya. Kusiasati tiap sinarnya.
Setelahnya, aku mengucapkan banyak kalimat. Kali ini tanpa pendengar sebaik Ina. Hanya malam sunyi senyap yang bahkan mustahil beri sesingkat-singkatnya sahutan.
"Aku salah terlalu bergantung kebahagiaan sama seseorang. Padahal soal perpisahan nggak ada yang mampu cegah."
"Rasanya kosong, Na. Mau nangis tapi nggak bisa. Tapi sesak banget, butuh pelampiasan. Kamu ngerasain kayak gini juga nggak, ya?"
"Harusnya aku nggak ngeyel. Cuma orang-orang bodoh yang masih berani nentang sesuatu yang pada dasarnya udah mutlak larangan, terlebih yang melarang itu adalah Tuhan mereka."
Rokok ke-7 yang kuisap tersisa ujungnya saja. Aku membuangnya ke asbak. Tanganku memijat kening dengan mata yang perlahan terpejam. Capek banget, Na. Aku harus pulang ke siapa?
Mataku terbuka ketika kudengar deru mesin mobil memasuki pekarangan rumah. Aku berdiri, melangkah ke depan. Seorang sopir keluar dan membukakan pintu untuk seseorang yang ada di kursi penumpang. Pria dewasa dengan setelan jas hitam rapinya berjalan ke arahku. Aku kenal baik siapa pria itu. Om Wira.
"Kedatangan saya menganggu?" tanya Om Wira memecah lamunanku. Aku sontak menggeleng seraya mulai menjabat tangan beliau sopan.
"Sama sekali tidak, Om."
"Masuk---" Niatku mempersilakannya untuk masuk dipotong oleh Om Wira, "Saya nggak lama."
Aku mengangguk kaku. Suasana begitu canggung. Terlebih ketika tatapan Om Wira beralih ke asbak yang terletak di atas meja. Tidak lama karena usai itu, beliau kembali menatapku. Terlalu sulit dideskripsikan bagaimana tatapan Om Wira kini. Tegas, tajam, sedikit menusuk.
"Berapa lama?"
Otakku benar-benar lamban sekarang. Aku baru bisa menjawab setelah berjalan menit kedua, "Seingat saya satu tahun lebih."
"Kamu sayang sama putri saya?"
Mendapati pertanyaan seperti itu membuat lidahku kelu. Setelah menarik napas berulang kali, aku menjawab ragu, "Maaf, sepertinya saya---" Dan lagi, Om Wira memotong ucapanku, "Pertanyaan saya nggak sulit. Cukup beri jawaban yang nggak melenceng jauh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Remang
Teen FictionUntuk perempuan secantik dan sebaik Ina, mana mungkin aku tahan untuk tidak menceritakannya kepada semua orang? Dalam bentuk tulisan yang kucoba rangkai seindah sosoknya, aku harap ia abadi selamanya bersama kenangan yang pernah ada. Selamat membaca...