Pecahan celengan ayam yang sengaja kujatuhkan ke lantai terdengar nyaring. Memecah sepi di tiap sudut ruang kamar. Aku berjongkok, mengambil lembar demi lembar uang yang harusnya sudah cukup untuk acaraku dan Ina hari ini. Salah satu keinginan besarku adalah bisa menonton tim kesayanganku; Persija, bertanding secara langsung.
Kebetulan malam ini, merupakan jadwal pertandingan Persija melawan Arema di Kanjuruhan, Malang. Aku berniat mengajak Ina nribun, kebetulan sekali gadis itu berasal dari Malang, pasti ia akan menyukainya!
Setumpuk uang mulai dari dua ribuan, lima ribuan, juga sepuluh ribuan, berhasil kugenggam. Kutemukan gulungan kertas yang tercecer di dekat kepingan celengan. Ketika membukanya, senyumku terukir masam.
Buat beli motor.
"Barang bisa dibeli lain kali, tapi kenangan baik belum tentu bisa dibuat dan datang lagi nanti," ujarku menyemangati diri sendiri.
***
Desember, 2015 | Kereta Api Jayabaya: Rute Pasar Senen (Jakarta) - Pasar Turi (Surabaya) - Stasiun Kota baru (Malang) PP, jalur utara.
Kami sudah berada di stasiun KA Jayabaya. Aku memakai jersey dengan nama punggung Bambang Pamungkas yang lalu kulapisi jaket hitam polos. Sementara Ina memakai jersey Real Madrid dengan nama Cristiano Ronaldo di punggungnya.
"Ina, kita mau nonton ISL, bukan UCL," ujarku memberi tahu. Aku menghela napas pasrah.
"Aku cuma punya baju ini, Rendra. Bukan punyaku, sih, tapi Ayah hehe," jawabnya dengan cengiran lebar.
"Yaudah, nanti kamu pakai jaketku, ya?" Bukan apa-apa, hanya saja melihat deker yang hanya menutup sebagian tangannya membuatku kurang nyaman. Pasalnya Ina selalu memakai pakaian yang menutup setiap bagian tubuhnya secara sempurna.
Kereta api yang kami tunggu mulai melaju mendekat. Ina menarik ujung jaketku dan mengikuti langkahku yang mulai memasuki pintu. Kami memilih untuk duduk agak belakang.
"Aku yang dekat jendela! Pengin lihat langit!" Gadis itu bersikeras untuk duduk di pinggir dekat jendela. Aku mengalah. Kereta mulai melaju dengan Ina yang sibuk memotret langit melalui jendela dengan analog cam-nya. Sementara aku mengeluarkan buku tulis kecil dan sebuah pen.
Tidak mudah bagi kami bisa sampai di sini. Butuh usaha keras dan kebohongan kecil, terutama untuk Om Wira. Maaf, ya, Om. Putrinya kuajari bohong.
Ina membual pada Ayahnya. Ina bilang jika akhir-akhir ini Osis disibukkan oleh acara ulangtahun sekolah yang sudah lebih dekat harinya. Maka dari itu, Ina izin untuk menginap di rumah Lestari---teman Ina yang juga merupakan anggota Osis. Om Wira yang sedang disibukkan oleh pekerjaannya pun percaya begitu saja.
"Kalau ngantuk tidur aja, Na," ucapku melihat Ina menguap kecil. Tanganku terangkat hendak membelai puncak kepalanya, tetapi urung. Kuingat lagi kemarin ketika sesuatu terasa rumit tanpa celah penenang.
"Ardika Rendra, 11 Ips 5, tingginya 175 cm, kadang ganteng kadang jelek, di rambutnya ada komplek kutu, hidungnya bisa jadi perosotan buat semut, 2 November 1998 dia lahir ke dunia, kadang pengin jadi penulis, kadang pengin jadi striker bola, kadang ...." Ocehan Ina berhenti tepat ketika kepala gadis itu terjatuh ke pundakku.
Ina sangat random. Ketika sedang aktif, tetapi cukup lelah, ia akan berbicara sepuasnya sampai mengantuk dan tertidur sendiri. Aku tersenyum gemas seraya membelai puncak kepalanya yang terbungkus jilbab segiempat itu. Melihat wajah polosnya dengan mata cantik yang tertutup rapat membuatku mendekat, berniat mengantarkan hangat pada keningnya.
Sesuatu menyentak pergerakanku. Detik berikutnya aku menggumamkan istighfar tanpa henti. Kupindahkan kepala Ina ke sisi yang lain. Melepas jaket lalu kulipat dan kujadikan bantal untuk kepala Ina agar tidak terbentur jendela.
"Maaf, Na."
Aku tahu ini semua salahku, Na. Andai aku tidak menarik kamu masuk, kamu masih teguh akan pendirian kamu, tidak lari dari prinsip kamu, tidak perlu susah-susah berbohong pada Ayahmu.
Ketika gelap gumpalan awan mengambil alih kanvas biru serupa langit cerah, aku menuliskan banyak hal. Padika selalu terasa maknanya, seolah tercipta iramanya, seakan menggerakkan tanganku, saat meremang buana yang kupijak.
Di Sepanjang Perjalanan Memijak Bumi Kanjuruhan---Ardika Rendra, 2015.
Dan ketika kamu berjalan menentang larangan itu, pertama kamu akan dibuat bahagia sedemikian rupa. Lalu melewati batas paling kecil di awal perjalanan. Berlanjut ke batas yang lebih besar, di pertengahan. Terus begitu hingga kelak penyesalan jadi sesuatu yang identik dengan harimu.
Cahaya dari gemerlapan bintang di langit suram itu memantul ke laut paling kelam. Selain baik, manusia juga harus pintar. Buku kehidupan itu berisi keindahan, sampulnya kelakar yang cipta tawa, tapi siapa tahu jika halaman menuju akhirnya sobek? Menuju akhir, darah menjelma pena. Menulis segala yang buruk dan merusak semua. Kuberitahu: andai sejak dulu bertindakmu hati-hati, tangismu tak sampai lengking.
Bahagia jangan kau raih dari hal-hal yang dasarnya adalah larangan.
***
pendek bgt ga sihh??
KAMU SEDANG MEMBACA
Remang
Novela JuvenilUntuk perempuan secantik dan sebaik Ina, mana mungkin aku tahan untuk tidak menceritakannya kepada semua orang? Dalam bentuk tulisan yang kucoba rangkai seindah sosoknya, aku harap ia abadi selamanya bersama kenangan yang pernah ada. Selamat membaca...