20. Museum Langit Yogyakarta

23.1K 1K 65
                                    

"Bu, Rendra minta maaf."

Mendengarku berkata demikian, Ibu melangkah lebih dekat untuk merengkuhku. Malam hari ini, aku dan Ibu sudah tiba di sekolah, aku akan berangkat study kampus. Ya, akhirnya. Semua itu bisa tercapai karena Ibu yang menjual sebagian tanah peninggalan Ayah. Pengorbanan yang dimaksud Bang Ari, Ibu yang melakukannya.

"Udah, kamu berangkat aja dengan tenang. Dan ingat, udah kewajiban seorang Ibu buat dukung cita-cita anaknya, 'kan?"

"Rendra semangat terus, ya? Apapun dan bagaimanapun Rendra nantinya, Ibu akan selamanya bangga."

Rentetan kalimat itu tidak berhenti membuatku merasa bersyukur. Dari sekian keberuntunganku di dunia ini, yang paling beruntung adalah menjadi Rendranya Ibu!

"Ibu baik-baik, ya, di sini. Mau dibawain oleh-oleh apa?" Aku menarik diri dan bertanya.

Ibu hanya tertawa. "Rendra pulang dengan selamat. Itu saja. Cukup," ujar Ibu kemudian.

Senyumku tak bisa berhenti terukir. Setelah akhirnya berpamitan, aku segera melangkah seraya menenteng satu tas besarku menuju tempat dimana bisnya terparkir.

Belum jauh aku melangkah, kudengar Ibu menyerukan nama seseorang dengan sangat antusias. Penasaran, akhirnya aku berbalik badan.

"Inaaa."

Kulihat Ina yang sama antusiasnya mendekap Ibu dan dalam samar kudengar ucapannya, "Ibuuu, kangen bangetttt."

"Ibu, apa kabar?"

"Alhamdulillah baik, Ina gimana?"

"Baikkk."

Percakapan itu berhenti sejenak sebelum akhirnya Ina berkata lagi. Kali ini lebih keras, sehingga aku cukup baik mendengarnya.

"Aaaaa, Ibuuuu!!! Kangennnn!!!"

Interaksi yang kulihat barusan menghantarkan perasaan yang luar biasa tentram. Kurasakan pundakku ditepuk. Ketika menoleh, ternyata pelakunya adalah Om Wira. Beliau tersenyum kecil.

"Saya nggak pernah tahu kalau Ina sebahagia itu waktu ketemu Ibu kamu."

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya.

Lalu, Om Wira berkata lagi, "Semoga perjalanannya menyenangkan, ya, Ndra. Saya percaya kamu bisa jadi orang hebat nantinya."

"Terimakasih, Om. Insya Allah, aamiin."

***

Aku satu bangku dengan Kevin. Sepanjang perjalanan, dia terus tertidur. Jika mulai mengorok, aku akan menampar pipinya. Di dalam bus, tidak ada gaduh yang berisik. Hanya ada lantunan musik yang dibunyikan lirih dan deru mesin bus. Aku tidak bisa tidur. Kepalaku terus melihat ke arah jendela. Melihat gemerlap kota melalui kerlip puluhan lampu jalan raya. Cantik sekali.

***

Bus berhenti di rest area ketika menjelang subuh. Azan masih belum berkumandang. Baru saja turun dari bus, Gilang langsung menghampiriku. Ternyata dia juga ikut, tetapi berada di bus yang berbeda denganku.

"Ternyata lo ikut juga!" ujarnya antusias.

"Ndra," panggil Gilang dengan matanya yang mengarah ke sebuah tempat.

"Nyebat bentar mumpung belum azan, hehe."

Aku hanya menghela napas pasrah dan mulai mengikuti langkahnya. Kami berjalan ke tempat yang tak begitu ramai dan duduk di pinggiran paving. Gilang mulai mematik api pada rokoknya, beberapa saat kemudian aku menyusul.

"Gue nggak tahu kalo lo ikut," ujarku padanya, teriring tawa.

Gilang turut tertawa. "Gue juga nggak tahu lo ikut."

RemangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang