17. Pijar Jatarupa dalam Gulita

25.3K 582 136
                                    

"Dan dengan ini, Kopi Remang resmi dibuka!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dan dengan ini, Kopi Remang resmi dibuka!"

Kalimat Bang Ari yang ia ucapkan semingguan lalu masih terngiang dalam kepalaku. Hari dimana Kopi Remang resmi dibuka. Alhamdulillah, meski tidak begitu banyak, setiap harinya ada saja pembeli yang datang. Setiap pulang sekolah, aku dan Bintang akan datang ke sini untuk menggantikan Bang Ari dan Bang Tito. Sedangkan Gilang hanya datang sesukanya, ya mau bagaimana lagi? Bisa dibilang, dia adalah pemilik dari usaha ini, karena nyaris keseluruhan modal berasal dari Gilang.

Sedikit melenceng, aku ingin memberi tahu kalau aku mulai belajar ikhlas soal Ina, hehe. Kesibukan ini membuatku tidak terlalu berpikir soal dia, terlebih setelah kemarin, mendapat nasihat-nasihat baik dari Bang Ari.

Menjelang sore hari, langit dipenuhi awan-awan hitam dengan petir yang sesekali menyambar. Rintik mulai berjatuhan.

"Tutup aja kali, ya? Lagian, bahan udah sisa dikit. Kalau cuacanya gini kayaknya nggak ada yang mampir."

Mendengar ucapan Bintang membuatku berpikir. Benar juga.

"Oke, deh."

"Gue beresin luar, ya." Aku mengangguk menanggapi ucapan Bintang.

Sementara aku mulai membersihkan bagian dalam. Dengan samar, kudengar pekikan ketika Bintang memasukkan satu per satu meja kursi ke dalam.

"Masssss!"

"Jangan tutup dulu, please?!"

"Saya bayar dua kali lipat, deh!"

Wajah orang itu tak begitu jelas karena terhalang oleh pintu yang setengah tertutup. Terdengar bangku yang diletakkan kembali ke lantai. Lalu Bintang berjalan ke dalam dan bertanya padaku, "Sisa roti bakar sama teh anget, 'kan, Ndra?"

Aku mengangguk. "Siapa?"

Bintang tidak menjawab, mulai berkutat dengan alat panggang, terlihat senyum konyol di wajahnya, oke dia sudah gila.

"Kenapa nggak lo suruh masuk, sih? Hujannya makin deres," ujarku.

"Lo aja sana. Biar gue selesaiin ini," balas Bintang.

Tanpa menunggu lama, aku segera berjalan ke sana, tapi berhenti karena panggilan Bintang, "Ndra."

Ketika menoleh ke belakang, kudapati senyum konyol itu lagi. Aku bergidik ngeri. Ck, gila.

Aku kembali melanjutkan langkah. Hingga sampai di teras. Di salah satu bangku, seorang gadis dengan ujung hijabnya yang sedikit terciprat air hujan duduk di sana. Tampak gurat panik dari wajahnya, sementara tangannya mengubek-ubek isi tas, mencari sesuatu.

Gadis yang sama, yang kuabadikan potretnya di ulang tahun SMA Bestari beberapa hari lalu. Gadis yang sama, yang membalutkan plester pada luka kecil di ujung jariku, beberapa hari lalu. Gadis yang sama, yang kuberi nama tengah cantik.

RemangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang