"Bang, kalau masih awal kayaknya jangan muluk-muluk dulu. Targetnya nggak usah tinggi-tinggi, takutnya nggak sesuai ekspektasi jadinya kecewa."
Aku mengutarakan keraguanku pada Bang Ari yang menyusun konsep dan rencana di buku. Kini kami sedang berada di tempat biasanya. Tapi malam ini pembahasannya serius. Bermula dari Bang Ari yang mengeluh mengenai kebutuhan dan pendapatan yang keluar tidak seimbang, disusul Gilang yang memberi info kalau sirkuit balapan liar langganan kami baru saja kedatangan polisi. Untungnya, saat itu kami sedang tidak ke sana. Bang Ari yang merasa bahwa tidak benar jika mengandalkan uang balapan terus-menerus, mulai mencari ide untuk mencari pundi-pundi rupiah dengan cara termudah.
Aku mengusulkan untuk membangun sebuah warung kopi atau semacam angkringan. Dengan target kalangan remaja, pastinya akan lebih menjanjikan untuk membuat tempat nongkrong. Gilang yang merupakan anak seorang pengusaha menawarkan modal dengan senang hati. Bang Ari menerimanya meski sempat menolak keras, dengan catatan akan mengembalikan seluruhnya kalau sudah berhasil kelak.
Bang Ari menampilkan senyum. Laki-laki yang kuanggap tangguh itu melontarkan kalimat panjang. Semangatnya yang utuh membuatku malu untuk menyerah.
"Kita emang orang kecil, tapi nggak ada salahnya punya mimpi setinggi mungkin. Target tinggi itu harus, Ndra. Kecewa itu resiko dari semua tindakan yang kita lakuin sebagai seorang manusia. Kalau pun nggak langsung kecapai, kita masih punya waktu yang bisa dimanfaatkan sebaik mungkin buat raih target itu, bahkan kalau bisa lebih tinggi dan semakin tinggi lagi."
"Beruntung gue kenal lo, Bang," ujarku padanya.
"Pertemuan gue, lo, kita semua; definisi dari takdir yang beruntung," balas Bang Ari.
Melirik ke arah Bintang yang sedari tadi diam, terlihat tangannya terangkat mengusap ujung matanya.
"Hahaha lo kenapa, Tang?" tanyaku seraya mengeluarkan tawa.
"Terharu aja gue. Di sini ngerasa kayak rumah. Lebih nyaman dari rumah gue yang isinya cuma barang-barang dibanting, kalau nggak ya Bokap atau Nyokap gue teriak sambil marah-marah, adu mulut nggak mau ngalah satu sama lain, gue yang dipukul tiap ngelakuin kesalahan kecil, ah berisik lah pokoknya hahaha." Bintang berkata dengan tampang biasa saja, tapi jika jeli akan terdengar getar dalam suaranya. Lelaki itu menahan sesak pada tiap tarikan napasnya, pasti.
Bang Tito yang duduk di pojok kanan bersuara, "Adek gue nggak boleh sedih. Sini sama Bang Tito, tinggal pilih mau arak, bintang, apa orangtua?"
"Tang, kalau mau waras jangan sama Tito," sahut Bang Ari.
Bintang hanya tertawa.
"Oh iya, gue hampir lupa! Tadi Ibu goreng pisang banyak banget, suruh gue bawa ke sini, ada yang mau?" Aku mengulurkan kantung kresek yang kutaruh di samping, yang langsung disahut oleh Gilang. Meskipun dari kalangan atas, laki-laki itu tidak banyak gengsi, bisa berbaur, dan tidak pernah memperlihatkan status ekonominya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remang
Teen FictionUntuk perempuan secantik dan sebaik Ina, mana mungkin aku tahan untuk tidak menceritakannya kepada semua orang? Dalam bentuk tulisan yang kucoba rangkai seindah sosoknya, aku harap ia abadi selamanya bersama kenangan yang pernah ada. Selamat membaca...