"Terimakasih sudah mengumpulkan karya kalian. Terimakasih juga atas kerja kerasnya. Setelah ini, saya akan menyeleksi 10 karya terbaik yang akan saya serahkan ke pihak panitia lomba. Untuk kemudian diseleksi lagi dan dimasukkan ke dalam sebuah buku antalogi. Jika buku terjual, kalian yang lolos seleksi bisa mendapat royalti."
"Sekian dari saya. Semangat terus. Sudah mau kelas 12, waktunya serius merancang masa depan, okay? Saya yakin kalian semua ini akan jadi orang besar nantinya."
"Sekiranya cukup itu saja yang ingin saya sampaikan hari ini. Sampai jumpa di tahap selanjutnya. Assalamualaikum."
Seusai mengucapkan serangkai kalimat itu, Pak Ali beranjak pergi dari ruang kelas 11 Ipa 1, tempat peserta GMPN berkumpul setelah bel pulang sekolah berdenting. Aku sudah mengumpulkan puisinya hari ini.
"Wallaikumsalam."
Aku lekas beranjak keluar kelas dengan tas yang kusampirkan di bahu kanan. Lucu ketika mengingat bahwa dulunya aku selalu mampir ke kelas ini ketika pulang sekolah untuk keperluan lain. Sekarang, rasanya sudah sangat jarang, bahkan tidak pernah kalau Pak Ali tidak meminta untuk berkumpul di sini.
Hari ini aku parkir di luar. Di dekat gerbang depan, kulihat Om Wira berdiri di depan mobilnya sambil melihat jam.
"Samperin nggak, ya?" tanyaku pada diri sendiri.
"Kira-kira marah nggak kalau gue samperin?"
"Ah, ngapain marah? Kan, semuanya udah clear sekarang."
"Nyapa aja boleh, 'kan?"
Setelah bergelut dengan keraguan, akhirnya aku berjalan menuju tempat Om Wira berdiri.
"Hai, Om, udah lama?" Om Wira menatapku. Lalu mengalihkan pandang ke tanganku yang terulur. Ketika hendak menarik tanganku, beliau menerimanya. Aku mengarahkannya ke dahi.
"Ah, Rendra. Nggak, masih lima menitan, kok," ujar beliau.
"Kamu makin ganteng aja saya lihat, haha." Om Wira menepuk pundakku akrab.
Aku hanya tertawa lirih menanggapinya. Selalu menyenangkan untuk berinteraksi dengan Om Wira. Walau terakhir kali kami bertemu, suasananya tidak sehangat ini.
"Om Wira sehat-sehat aja, 'kan?"
Awalnya, aku ingin bertanya, "Om sakit apa sampai opname?"
Tapi, nanti beliau malah bingung darimana aku bisa tahu, hehe.
Om Wira tampak tersenyum mendengar pertanyaanku. Kemudian beliau mengangguk. "Alhamdulilah."
"Saya doain semoga selalu sehat, ya, Om." Ada Ina yang masih, sangat, dan selalu butuh ayahnya.
"Aamiin, makasih doanya."
"Oh iya, kamu ikut study kampus?"
Mendengar itu, aku mengernyit bingung. Mengingat sekolah yang belum memberi info apapun. Melihatku yang kebingungan, membuat Om Wira menepuk jidat seraya berkata, "Ya Allah, kayaknya belum diinfoin, ya? Om tahu dari Ina."
Aku hanya tersenyum tipis. Seperti tidak ada percakapan lagi, aku berniat untuk pergi. Namun, tertunda karena Om Wira yang kembali berbicara, "Rendra, saya senang kamu tidak membenci saya."
Dahiku kembali mengerut bingung. "Om selalu baik sama saya, kenapa harus saya benci?"
"Mengenai keputusan saya waktu itu. Saya yang memisahkan … saya kira kamu akan membenci saya setelah itu."
Aku tertawa singkat. "Wah, nggak masuk ke daftar calon mantu nanti, kalau saya benci Om," kelakarku.
Om Wira turut mengalirkan tawa mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remang
Teen FictionUntuk perempuan secantik dan sebaik Ina, mana mungkin aku tahan untuk tidak menceritakannya kepada semua orang? Dalam bentuk tulisan yang kucoba rangkai seindah sosoknya, aku harap ia abadi selamanya bersama kenangan yang pernah ada. Selamat membaca...