12. Januari, Apa yang Dicari?

27.8K 1K 18
                                    

Jakarta, di penghujung Desember 2015

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jakarta, di penghujung Desember 2015.

Aku sedang berada di markas yang biasanya dipakai Bang Ari dan teman-temannya untuk berkumpul. Letaknya tak jauh dari rumahku. Memakai jersey pemberian Ina semingguan lalu dengan celana hitam polos selutut, aku duduk di tumpukan ban sembari mengapit rokok.

"Tinggal hitungan jam, udah 2016. Dan gue masih belum punya rencana apa-apa ke depannya." Sembari memetik dawai dari gitar di pangkuannya, Gilang mengatakan kalimat yang menghentikan riuh suara di tempat itu. Sekiranya ada 10 orang, yang tadinya asyik berbicara mendadak diam.

Bang Ari angkat suara, "Lo masih punya waktu buat berpikir dan ngerencanain apa yang mau lo lakuin, Dek. Jangan pernah nyepelein waktu, sih. Gue nggak mau lo jadi berantakan kayak gue. Karena nggak pernah pikirin soal masa depan dari awal, hidup gue sekarang ancur. Bener-bener nggak tahu arahnya kemana."

Kulihat Gilang tersenyum tipis mendengar penuturan Bang Ari.

"Dan lo, Rendra." Aku menoleh ke arah Bang Ari. Laki-laki yang usianya terpaut tiga tahun di atasku itu membuang rokoknya yang tersisa sedikit ke asbak. Lalu berkata, "Jangan jadi hancur cuma karena cewek. Lo masih muda. Banyak yang bisa lo lakuin, perjuangin, capai, dan lo bahagiain; terutama diri lo sendiri."

Aku mengangguk seraya tertawa, "Paham, Bang."

Orang-orang di dalam sini sudah tahu mengenai hubunganku dan Ina yang berakhir. Pasalnya sudah beberapa kali aku ikut balapan dan menang sejak hari itu, lalu kami merayakannya di tempat ini. Dan semua cerita selalu mengalir secara spontan. Perihal cinta, hidup, dan masa depan, semuanya kami bagikan di tempat ini.

Ketika hendak memberi nasihat lagi, Bang Tito tampak datang dari luar membawa sebotol minuman. Melihat itu, Bang Ari lekas menghampiri dan mengumpat, "Bangsat, To! Gue nggak kasih izin lo bawa arak ke sini, ya!"

"Apa, sih?! Ini amer!"

"Mau amer, arak, apapun ... nggak usah lo bawa ke sini!" Bang Ari hendak merebut botol tersebut dari genggaman Bang Tito.

"Iya-iya aelah! Gue taruh, nih, nggak gue minum." Kemudian, Bang Tito duduk di sebelahku.

Seraya melirik minuman itu, aku bertanya, "Minum gituan rasanya gimana, Bang? Kok lo bisa suka banget?"

"Rasanya kayak plong aja otak gue. Jadi lupa sama masalah."

Bang Tito tersenyum miring ke arahku. "Kenapa? Pengin coba?" Aku terdiam lama usai itu.

Rendra jaga diri baik-baik. Aku mau kasih 12 larangan terakhir, kamu harus dengar. Perihal akan kamu lakukan apa nggak, itu tergantung kamu.

... jangan minum-minuman keras.

Ucapan Ina terngiang dalam otakku. Dengan cepat, aku menggeleng keras.

Kemudian, aku bertanya lagi, "Tapi dengan minum itu, nggak ada jaminan masalah kelar, 'kan, Bang?"

RemangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang