5. Kubangan Fana

32.9K 1.5K 48
                                    

Aku berdiri dan memajukan langkahku sedikit, tanganku menengadah. Hanya ada titik-titik kecil yang berjatuhan. Deras berubah gerimis kecil. Menoleh ke belakang, aku lihat Ina yang menatapku lalu ia bertanya, "Udah reda?"

Aku mengangguk pelan. Namun, baru saja berdiri, gadis itu terduduk lagi. Matanya melotot lebar ke arah kiri, seperti melihat sesuatu yang menakutkan. Aku memutar kepalaku menuju sumber pandangnya.

Om Wira. Ayah Ina. Berjalan ke arahku.

Langkahnya yang tegas membuatku napasku tercekat. Aku mencoba biasa saja. Namun, ketika tatapan setajam belati itu tertuju ke arahku, udara di sekitarku seolah hilang. Yang terjadi selanjutnya di luar dugaan. Om Wira tersenyum, menepuk pundakku. Lantas bertanya, "Rendra apa kabar?"

Aku berdeham menghilangkan perasaan-perasaan seperti gugup, takut, kaget, dan sejenisnya. Menunduk dan kuraih tangannya, kuarahkan pada dahiku, kami bersalaman sejenak seraya aku menjawab, "Alhamdulillah baik, Om. Om sendiri bagaimana?"

"Baik. Selama gadis kesayangan Om juga baik."

Aku dan Ina memang sudah saling mengenal sejak kecil. Dulu, rumah kami berdekatan, bisa dibilang tetangga. Aku sering ke rumah Ina untuk mengajaknya bermain. Namun, setelah menginjak bangku SMP, Om Wira membangun rumah yang lebih besar, jauh dari wilayahku. Untungnya, kami satu SMA sekarang. Akan tetapi tetap saja, Om Wira tegas perihal larangan untuk Ina berdekatan dengan laki-laki, berawal sejak dirinya mengalami pubertas. Pria setengah baya itu menjunjung tinggi aturan agama.

"T-tadi saya berteduh di sini nunggu hujan reda, Om. Nggak tahu kalau Ina ternyata juga di sini." Tanpa perlu ditanya, aku menjelaskannya pada Om Wira. Melihat gurat penasaran beliau, membuatku inisiatif menjelaskan. Ya, meskipun sedikit bohong, sih, hehe.

Beliau hanya tersenyum menanggapi. Aku pun tak tahu apa makna dari senyum itu.

"Ina akan berdiri di situ sampai kapan?" tanya Om Wira. Di sana, kulihat Ina sudah berdiri dengan tangan saling bertaut panik. Bisa kubayangkan secepat apa jantungnya berdetak kini.

Ina berjalan dengan kepala menunduk melewatiku. Om Wira merangkup pundak putrinya penuh sayang.

"Kami duluan, ya, Ndra. Kamu buruan pulang, keburu deras lagi hujannya. Assalamualaikum."

Usai mengatakan itu, Om Wira dan Ina berjalan menuju mobil putih mewah yang terparkir di seberang jalan.

"Wallaikumsalam," jawabku dengan senyum sumir.

Dari sini, bisa kulihat Om Wira membelai penuh kasih puncak kepala putrinya, lalu mengecupnya pelan. Siapapun yang melihat itu tahu, seberapa besar kasih sayang beliau pada Ina—putri Om Wira satu-satunya. Meski tumbuh besar tanpa seorang Ibu, sepertinya Ina tak kekurangan kasih sayang. Om Wira benar-benar seorang Ayah yang nyaris sempurna, beliau selalu berusaha yang terbaik untuk Ina.

Lalu, apa kepentinganku untuk tetap? Bukankah hidup Ina sudah sebegitu sempurna? Ada atau tidaknya aku membawa perubahan baik apa, ya?

Ah, sudahlah, ini masih sore. Nanti saja berpikirnya.

***

Menuju maghrib, hujan kembali deras. Namun, untungnya aku sudah sampai di rumah. Setelah mandi dan bersih-bersih, aku memutuskan untuk berada di kamar. Sedangkan Ibu menggoreng pisang di dapur, aromanya tercium sampai ke sini, kombinasi yang pas dengan hujan.

RemangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang