"Rendra, udah bikin puisinya belum lo?"
Baru saja memasuki kelas, temanku yang merupakan ketua kelas langsung menodong dengan pertanyaan tersebut. Aku menggeleng malas seraya meletakkan tas ke bangku dan melangkah keluar.
"DEADLINE MINGDEP JANGAN NGARET LU YE!"
"HEH LO PIKET, MAU KEMANA?! BENTAR LAGI BEL!"
Astaghfirullah. Ya Allah. Aku nyaris lupa kalau dia laki-laki. Suaranya serupa lengkingan dengan ekspresi membersut. Bersikap bodoamat, aku tetap melangkah keluar.
Membosankan sekali. Aku hanya berjalan tak tentu arah sambil menunggu bel masuk. Sejak kapan pula sekolah jadi semembosankan ini? Ah, mungkin sejak itu, ya?
"Stop, masih pagi. Sehari aja coba deh. Banyak yang masih bisa dan lebih layak lo pikirin, Ndra." Aku bermonolog hingga tak sadar menabrak seseorang yang berjalan sedikit tergesa menuju arah yang berlawanan denganku.
"Eh, maaf maaf. Lo nggak pa-pa?" Inisiatifku untuk membantu orang itu bangkit gagal ketika ia sudah kembali berdiri. Orang itu, gadis berjilbab putih rapi, Lestari.
"Tar? Maaf banget, ya. Nggak pa-pa, 'kan?" Aku bertanya sekali lagi, bermaksud untuk memastikan.
Lestari mengangguk singkat. "Aku duluan, Ndra."
"Tari …." Lestari menghentikan langkahnya sementara aku terlalu kelu untuk menyampaikan sesuatu.
"Ina baik-baik aja, kok. Cuma agak pusing aja kayaknya hari ini," ujar Lestari mengejutkanku, ia seakan sudah tahu apa yang ingin kusampaikan.
Lestari ini yang sejak awal SMA tahu soal hubungan kami. Setidaknya dia paham tentang apa yang kami lalui meski tidak seluruhnya.
"Emangnya kenapa?" tanyaku penasaran.
"Ina udah bolong bimbel semingguan lebih buat ngurus acara sekolah, sampai akhirnya nilai ulangan kimia dia kemarin anjlok parah. Dia frustasi, secara kan Ina ambisius banget soal nilai. Hm, nggak cuma itu, kabarnya, Om Wira baru aja opname. Aku kasihan lihat dia, kayak capek banget," tutur Lestari panjang lebar. Menyentakku dengan kekhawatiran yang sontak saja langsung memenuhi pikiran.
"Jujur, aku nggak pernah kepikiran buat ngomong ini ke kamu. Tapi aku rasa, Ina seterpuruk itu semenjak nggak sama kamu."
Deretan kalimat itu membuatku semakin tersentak. Merasuk lebih dalam melalui keheningan. Terasa desir kesakitan yang pada akhirnya bersahut-sahutan dengan detak ketakutan.
"Tapi kamu nggak usah khawatir. Aku bakal temenin Ina terus, kok. Sebisa mungkin aku bikin Ina senyum."
Selepas mengatakan itu, Lestari melangkah pergi. Meninggalkanku yang masih berdiri membeku di pinggir jalan kawasan ruang ekstrakulikuler. Kalimat yang menyatakan bahwa Ina seterpuruk itu memberiku pengaruh besar.
Dunia Ina harus selalu baik. Langit Ina harus selalu cantik. Jangan sampai pada akhirnya Ina tahu apa maksud dari jingga yang kadang kelabu itu.
***
Kamu salah besar dengan merapalkan pengharapan seperti itu, Rendra. Padahal nyatanya, kehidupan nggak pernah nggak kasih gempuran. Dunia nggak selamanya bersikap baik. Dan manusia nggak selalu terikat sukacita saja.
Ina juga manusia pada umumnya. Seindah dan sebaik apapun, seiring berjalannya waktu, menginjak remaja sampai ketika menjelang dewasa, lihat … seberapa keras kehidupan menggempurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remang
Teen FictionUntuk perempuan secantik dan sebaik Ina, mana mungkin aku tahan untuk tidak menceritakannya kepada semua orang? Dalam bentuk tulisan yang kucoba rangkai seindah sosoknya, aku harap ia abadi selamanya bersama kenangan yang pernah ada. Selamat membaca...