Don't want to lose you

1.8K 298 6
                                    

Suara dering telepon berulangkali mengusik telinganya. Rafka membuka mata. God... baru beberapa menit ia tertidur. Bahkan alarm yang dipasangnya, belum juga berbunyi.

Begitu melihat nama "Raifa" di layar, matanya benar-benar membuka.

"Halo?"

"Selamat malam Pak, ini saya Bu Ade. Tetangga sebelah rumah mbak Raifa. Maaf Pak, ini saya telepon karena nama Bapak yang terakhir kali dihubungi mbak Raifa. Tante dan Omnya Raifa sudah saya coba hubungi. Tapi teleponnya tidak aktif.

Mbak Raifa kecelakaan di rumah. Maksudnya, aduh... Sekarang berdarah, luka. Saya masih punya anak dua kecil-kecil, suami saya juga sedang keluar kota. Apa Bapak bisa kesini, bantu membawa mbak Raifa ke rumah sakit?"

"Oke Bu, saya segera kesana."

Secepat kilat Rafka mencuci muka dan berganti pakaian. Ia mengambil kunci mobil. Sebelum berangkat, ia mengirim pesan untuk pamit pada Mama dan Papa. Mereka pasti sudah istirahat.

Jantungnya seolah berlomba saat berulang kali ia harus mengendarai mobil dengan kencang, sementara beberapa lampu lalu lintas di perempatan, menghadangnya untuk berhenti.

Ya Allah... Raifa. Apa yang terjadi? Bukankah sebelum tidur tadi, semua masih baik-baik saja? Ia mengetuk ulang kemudi, mengurangi kekesalannya karena belum juga sampai ke rumah gadis itu.

Begitu tiba di rumah dua lantai itu, Rafka segera berlari dan mengetuk pintu depan. Tampak seorang Ibu menggendong anak balitanya, membuka pintu. Seorang anaknya yang lain, tampak tertidur di sofa. Dilihatnya Raifa masih terbaring di lantai. Rafka memalingkan wajah karena melihat gadis itu tidak mengenakan hijab, sementara keningnya terbalut kain putih yang sudah berubah menjadi warna merah.

Rafka mengeluarkan beberapa sapu tangan yang sengaja ia bawa dari rumah. Ia juga mengambil selimut yang biasa ia simpan di mobil. Bu Ade, tetangga Raifa bercerita, dia keluar rumah karena mendengar suara berisik dari klakson mobil yang menjemput Rania. Begitu keluar rumah, Bu Ade melihat Rania sudah pergi, sementara pintu depan masih sedikit terbuka.

Dengan cekatan, Rafka mengganti kain di pelipis gadis itu, dengan sapu tangan yang disambungnya menjadi kain segitiga untuk membalut luka.
Ia pernah belajar keterampilan ini, saat dulu mengikuti ekskul Pramuka di SMP.

Maafkan aku Ai... Tidak seharusnya aku yang melihatmu seperti ini. Rafka mengabaikan perasaan senang di hatinya, malam ini ia bisa menatap wajah cantik gadis di depannya. Ia mungkin adalah yang pertama. Tapi ia tidak akan mengijinkan lelaki lain, memandang Raifa-nya.

Sadar Raf... Kamu belum halal untuknya. Dilihatnya luka robek yang masih mengeluarkan darah di sudut kening gadis ini. Setelah membersihkan sisa darah di wajah Raifa, Rafka memakaikan hijab yang dipinjamkan oleh tetangga Raifa. Ia kemudian menggendong gadis itu ke dalam mobil.

"Tolong sampaikan ke Tante dan Omnya Raifa. Saya bawa dia ke Green Metropolis Hospital. Terimakasih Bu."

Bu Ade mengangguk. Dalam hati, Ibu muda itu mengagumi Rafka yang terlihat tampan dan juga terlihat tenang. Tidak panik seperti dirinya. Apakah mungkin lelaki ini, adalah calon suami dari Raifa. Beruntung sekali. Raifa gadis yang baik dan ramah. Tidak sombong dan angkuh seperti adiknya.

Rafka langsung pamit. Ia mengendarai mobil, sedikit kesetanan menuju rumah sakit Metropolis, milik "Ayah angkatnya".

Ia sadar, gadis ini kehilangan banyak darah. Ai... Bertahanlah. Sebentar lagi kita sampai. Berulangkali ia menengok ke kursi belakang tempat Raifa terbaring. Gadis itu masih bernapas kan. Ia takut kehilangan gadis ini.

Rafka tersenyum lega setelah mobilnya sampai di depan Instalasi Gawat Darurat. Baik satpam dan paramedis yang menyambutnya, dengan cepat menyiapkan tempat tidur. Rafka menggendong Raifa, namun gadis itu seperti enggan membuka mata.

CONNECTED TO YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang