Knowing the Truth

1.8K 294 10
                                    

*Green Metropolis Hospital*

Ruangan dengan wallpaper bercorak bunga tulip itu, tampak membuat nyaman pasien yang sedang beristirahat di dalamnya.

"Halo Sayang..."

Tante Wilma mengusap lembut kepala Raifa yang terbalut kerudung berwarna biru muda.

Gadis itu membuka mata. Dia seperti sudah berhari-hari tertidur.

"Tante... Aku dimana?"

"Di rumahsakit, Sayang. Kakak jatuh di rumah dan pingsan. Ada luka di kening kakak, tapi semalam sudah dijahit."

Kepala Raifa masih terasa berat.

"Dingin Tan... Pengen pipis."

Tante Wilma membantu Raifa turun sambil membawa infus. Dia masih heran saat membuka mata, sudah terpasang selang infus di pergelangan tangannya.

Selesai dari kamar mandi, Raifa kembali berbaring. Perlahan kepalanya mulai terasa ringan. Aroma vanilla dari pengharum ruangan, membuatnya lebih rileks.

"Tan.. Siapa yang bawa aku kesini?"

Rania... Ah iya, tiba-tiba dia teringat Rania.

"Tante sudah telepon Kak Kevin untuk cari Rania?"

Tante Wilma geleng-geleng kepala melihat Raifa masih memikirkan adiknya.

"Kevin sudah menjemput Rania. Dia sekarang menginap di rumah teman Kevin. Namanya Tiara. Kevin baru saja menelepon Tante."

Raifa tersenyum tipis. Syukurlah, dia sudah khawatir adiknya tiba-tiba melakukan hal bodoh seperti yang kemarin dilontarkannya.

Dia sendiri sebagai mahasiswi kedokteran, sudah paham isi dari Sumpah seorang Dokter untuk menghargai kehidupan sejak masa pembuahan.

Semalam dia bermaksud menghalangi adiknya pergi untuk menggugurkan kandungannya. Tapi Rania tidak sengaja mendorongnya keras hingga dia jatuh dan membentur tembok.

Raifa mengambil cermin di dalam tas kecil di sebelah tempat tidur. Dia meraba keningnya yang tertutup kassa putih.

"Semalam Rafka yang mengantar Kakak kesini. Bu Ade yang menelepon karena panik lihat kakak jatuh di lantai, berdarah."

Raifa terdiam. Kak Rafka? Benarkah lelaki itu yang menolongnya?

"Oya Kak, Tante pagi ini, pamit pulang dulu. Kalau sore ini Kakak sudah boleh pulang, kabari Tante ya. Nanti Tante dan Om yang akan jemput."

Tante Wilma mencium pipi Raifa dengan lembut. Tidak lama pintu tertutup. Raifa tinggal sendiri dan dia tidak suka sendirian. Dia berjalan ke arah jendela dan membuka tirai hingga sinar matahari masuk.

Pemandangan jalanan ibukota yang mulai padat merayap di pagi hari, mengingatkannya dengan rutinitas kampusnya. Pagi-pagi dia biasanya berlari mengejar bus kota dan menghabiskan waktu berdiri bila tidak ada yang berbaik hati memberinya bangku. Ia akan berdiri sambil mendengarkan lagu di ponsel, dengan earphone yang setia menemaninya.

Kuliah... Ya Allah, bagaimana dengan ijin kuliahnya. Dia bahkan belum sempat mengetik surat. Semoga hari ini tidak ada kuis mendadak dari dosennya.

Tiba-tiba ingatannya kembali tertuju ke sosok lelaki bernama Rafka. Apakah suatu kebetulan tetangganya menelepon Kak Rafka?

Bukankah dia sendiri sudah lama tidak menghubungi lelaki itu. Mengapa bisa tetangganya malah menelepon Kak Rafka. Yang membuatnya tertegun adalah saat ditelepon, lelaki itu benar-benar datang dan menolongnya. Selama ini, Raifa meragukan ketulusan lelaki itu.

CONNECTED TO YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang