Invisible Hand

6K 378 20
                                    

Memori 3 bulan lalu.

Raifa kelelahan mengikuti langkah Papa dan Rania adiknya, yang masih memilih dress keempat dari beberapa butik langganan artis terkenal.

Belum lagi setelah ini, mereka akan beranjak ke toko sepatu. Itu karena sepatu Rania ada yang rusak solnya. Padahal menurut Raifa, sepatunya masih bagus dan masih bisa diservice.

"Kak Ifa, kamu yakin nggak mau beli baju atau sepatu? Mumpung Papa lagi libur kerja. Minggu depan Papa sudah berangkat ke lepas pantai."

Raifa menggeleng. Otaknya masih dipenuhi tugas praktikum mahasiswi kedokteran tingkat dua yang sedang sibuk-sibuknya.

"Apa Kak Ifa mau ke toko buku saja? Nanti Papa jemput disana."

"Beneran Pa? Yeaay... Makasih Papa."

Mata Raifa berbinar senang. Dia sudah tidak sabar memanjakan mata dengan hamparan buku di depannya.
Tentu saja dia tidak akan menolak tawaran Papa.

"Hari ini Papa beri budget Kak Ifa dan Rania, masing-masing tiga juta. Kakak boleh pakai buat beli apa saja."

Raifa mengangguk. Dia memeluk dan mencium punggung tangan Papa. Dia berjanji dalam hati, tidak akan menghabiskan semuanya.

Minimal dari sisa uang yang diberikan Papa, bisa dia tabung untuk membeli perlengkapan kuliah.

Sampai di toko buku, gadis itu langsung menuju rak buku agama. Sejak masuk ke fakultas kedokteran dan mengikuti mentoring agama Islam, dia berminat untuk belajar lebih dalam lagi.

Waktu yang akan dihabiskannya untuk kuliah sekitar lima tahun. Sungguh sayang bila dirinya hanya belajar ilmu dunia, tanpa mengejar ilmu untuk akhiratnya.

Raifa sudah meniatkan diri, di hari lahirnya tahun ini, dia akan memakai hijab. Dia mulai berlatih dengan mulai berhijab bila sedang bepergian. Semoga dia bisa mengenakan untuk seterusnya.

Biarlah adiknya Rania yang memilih menjadi foto model, menganggapnya seorang kakak yang kuno. Karena sejak SMA, adiknya sudah memandang dirinya sebelah mata.

Bahkan saat Raifa diminta Papa menjemput adiknya di studio pemotretan sebuah majalah bergengsi di ibukota, adiknya seolah malu mengakui dirinya sebagai Kakak.

Memang bila ditelisik keduanya berbeda seratusdelapanpuluh derajat. Rania mirip dengan almarhumah Mamanya yang cantik karena memiliki darah keturunan Eropa dari Kakek buyut. Mama meninggal enam bulan sejak melahirkan Rania karena penyakit jantung yang memberat sejak kehamilan kedua.

Sedangkan Raifa, memiliki garis wajah dari Papa. Sedari kecil, dia tumbuh menjadi gadis yang tomboy. Hobinya memanjat pohon dan memakai celana pendek. Sampai SMA pun, dia masih gemar pergi dengan blus dan celana panjang.

Semenjak kuliah, perlahan dia merubah penampilannya. Masuk di fakultas kedokteran, terdapat peraturan mengenai cara berpakaian. Termasuk tidak memakai celana panjang saat jam kuliah.

Setelah Mama wafat, Papa memutuskan tidak menikah lagi. Jadilah mereka dititipkan ke adik kandung Papa, Tante Wilma dan suaminya, Om Keenan. Hal itu berlangsung dua pekanan karena Papa bekerja di kilang minyak lepas pantai. Dua minggu offshore, dua minggu beristirahat di rumah.

Saat Papa pulang, barulah mereka dijemput kembali ke rumah. Rumah mereka sebenarnya hanya berbeda satu blok dari Tante Wilma.

Raifa bersyukur, Om dan Tantenya memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang. Mungkin karena sudah sepuluh tahun berumahtangga, keduanya belum memiliki momongan, sehingga Raifa dan Rania sudah dianggap seperti putri kandung mereka sendiri.

CONNECTED TO YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang