6. Pengakuan dan Rahasia

509 85 40
                                    

"Cinta dan sahabat adalah dua hal yang begitu sakral di dunia ini"

Mencintai kamu memang menyakitkan, tapi mencoba melupakanmu seperti menciptakan Yang lebih menyayatkan"

~ Mariposa Luluk_HF~
.
.
.

Cindy masih berkutat dengan berkas di depannya, jika benda mati itu bisa berbicara, mungkin ia sudah berteriak meminta dijamah segera diselesaikan. Seperti menjadi kebiasaan baru bagi Cindy. Dia yang biasanya menyelesaikan pekerjaan di apartemen. Namun, beberapa hari belakangan dia mengerjakannya di ruang rawat inap Claudya.

Cindy melepaskan pinsil yang sejak tadi berada di antara telunjuk dan ibu jarinya. Netra beralih menatap Claudya yang masih tertidur di atas ranjang pasien.

Ucapan Chan tadi sungguh mengganggu pikiran Cindy. Diraihnya
Benda canggih yang dia simpan di samping laptopnya. Mengirim satu pesan untuk Chan.

Ada yang mau gue bahas sama lo. Bisa temui gue sepuluh menit lagi di kafe auxas. Nanti gue kirim lokasi.

Chandrika :
Lo mau bahasa apa, emang?
Bisa sih. Tapi telat 5 menit, ya. Masih ada kerjaan.

Suara deritan pintu terdengar, tanda ada yang mendorongnya. Sosok wanita dengan wajah lemah lembut muncul di balik pintu. Bunda tersenyum, rasanya seorang anak pasti akan setuju jika senyum ibunya adalah hal paling mereka sukai, tak terkecuali Cindy.

"Bunda udah datang? Sama siapa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Bunda udah datang? Sama siapa?"

"Diantar sama ayah. Itu ayah masih di belakang," ucap bunda sembari menyimpan tas tangannya di sofa kosong sebelah Cindy.

"Asalamualaikum ...," salam yang di ucapkan oleh seseorang setelahnya.

Pria yang menjadi cinta pertama Cindy. Pria yang namanya diletakkan pada tahta tertinggi dalam rangkaian doanya. Pria berharga dalam hidupnya. Ayah!

Cindy bergegas ke arah pintu, menumbrukkan tubuhnya pada dada bidang ayah.

"Ekhem. Yang udah ketemu sama ayahnya, ya. Bunda dilupakan," sindir bunda.

Cindy menyengir, jika Claudya lebih manja pada bunda, lain halnya dengan Cindy yang lebih manja pada ayah.

"Yah, Bun. Cindy ada keperluan di luar. Izin pamit dulu ya. Nggak lama kok."

Bunda mengangguk, Cindy meraih kedua tangan orangtuanya, meninggalkan jejak bibir di punggung tangan mereka.

***

Cindy & Claudya (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang