Seperti dejavu, beberapa bulan yang lalu Cindy berlari tergopoh-gopoh dari ruangannya menuju lantai bawah, saat mendapat telepon dari ayah tentang Claudya. Kali ini Cindy berlari menuju ruang ICU.
Keadaan Claudya semakin memburuk. Itulah sebabnya ia dipindahkan ke ruang ICU. Siang ini, Claudya kembali mengalami penurunan.
Di balik pintu kaca itu, Cindy berdiri ragu. Di dalam sana, Claudya sedang mendapatkan penanganan dokter Bisma dan dua orang perawat.
Tidak hanya Cindy yang berada di sini, ada ayah dan bunda juga. Ayah merangkul bunda, menenangkan keadaan bunda yang-sejujurnya tidak jauh berbeda dari Cindy. Jejak air mata di pipi bunda belum sepenuhnya kering.Pintu ruangan itu bergerak tertarik ke dalam, dokter Bisma dan kedua suster keluar beriringan.
Setelah mendapat penanganan beberapa saat lalu, Claudya bisa dijenguk satu jam kemudian."Orang tua pasien, bisa ikut saya ke ruangan saya," ucap dokter Bisma, saat tubuhnya yang tegap sudah berdiri di hadapan mereka.
Ayah dan bunda mengikuti dokter Bisma, melangkahkan kaki menuju ruangan dokter Bisma. Meski ragu, Cindy mengikuti mereka.
Saat mereka sudah berada di depan pintu ruangan yang bertuliskan dr. M. Bismaka Kalandra, Sp.PD-KHOM di salah satu sisi dindingnya.
Dokter Bisma menatap Cindy sejenak, ia mengangguk kecil seperti memberi izin pada Cindy untuk turut ikut ke dalam ruangan, mendengarkan apa yang akan dibahas.
Mereka sudah duduk di sofa panjang, sedangkan dokter Bisma duduk di sofa tunggal. Wajahnya berubah serius.
"Ibu, Bapak. Sebelumnya maaf. Saya mengundang Ibu Bapak untuk ke ruangan saya. Ada sesuatu hal yang harus saya sampaikan."
Cindy terdiam saat dokter Bisma mengucapkan kalimat 'ada sesuatu hal yang harus saya sampaikan'. Pikiran buruk seketika menyerangnya, setetes butiran bening luruh begitu saja dari pelupuk matanya.
Dokter Bisma tersenyum simpul. "Saya harus menyampaikan, saya membutuhkan persetujuan keluarga pasien. Untuk melakukan kembali BMP, guna untuk memonitor perkembangan penyakit pasien, apakah Bapak dan Ibu bersedia memberikan persetujuannya?"
Ayah dan bunda sejenak tampak ragu, dokter Bisma seperti paham akan itu. "Tidak apa-apa, tidak perlu khawatir. Kita sama-sama berusaha dan berdoa demi kesembuhan pasien," ucap dokter Bisma sedikit menenangkan.
Ayah memantapkan keputusannya. "Baik, Dok. Kami bersedia."
Dokter Bisma membuka suaranya lagi. "Dalam hal ini, saya menyarankan pasien menjalani transplantasi sel punca atau biasa disebut transplantasi sumsum tulang belakang. Kita bisa melakukan dengan metode autologus, yaitu sel induk yang berasal dari pasien itu sendiri. Atau metode
allogeneic, sel induk berasal dari pendonor," papar dokter Bisma."Siapa saja yang bisa menjadi pendonor, Dok?" tanya Cindy.
Dokter Bisma menatap Cindy. "Donor terbaik adalah saudara kandung yang memiliki kesesuaian lengkap, kemungkinan saudara kandung dari kedua orang tua yang sama, memiliki kesesuaian sebesar 25 persen sebagai penerima transplantasi," jelas dokter Bisma.
"Selain dari saudara kandung, apakah ada pendonor yang lain, Dok? mengingat ... Claudya hanya memiliki satu saudara kandung. Karena ...." Ayah sedikit ragu melanjutkan ucapannya.
Cindy menggenggam tangan ayah sesaat. Mengangguk seolah memberi kode. 'tidak apa-apa'. Bunda hanya diam saja. Cindy merasa iba melihat bunda yang hanya bisa menyeka air dari sudut matanya.
Ayah melanjutkan ucapannya. "Mengingat saudara Claudya yang lain berbeda ibu," lirih ayah.
Kembali dokter Bisma menarik garis senyum. "Ibu dan Bapak, jangan khawatir. Pendonor bisa berasal dari unrelated donor atau bahasa sederhananya, donor yang berasal dari pendonor yang tidak memiliki hubungan saudara, tetapi memiliki kesesuaian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cindy & Claudya (Republish)
FanfictionCindy, seorang dokter di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Bersama adik kembarnya-Claudya-sejak kecil bersahabat dengan Chandrika yang tak lain tetangganya. Cindy jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Namun, sang sahabat sudah lebih dulu me...