National University Hospital Singapore, Singapura
***
Entah berapa lama semalam Cindy melamun hingga tertidur. Yang dia tahu, sinar matahari sudah mengintip malu-malu di balik tirai jendela kamar rumah sakit ini, tempat di mana Claudya dirawat sekarang.
Matanya melirik jam dinding yang berada di sisi kiri ruangan. Sudah menunjukkan pukul 06.18. Cindy sudah berada di Singapura, ia tidak mengalami banyak kesulitan untuk sampai ke sini. Saat mendarat di Singapore Changi airport, Cindy dibantu oleh seseorang yang dokter Bisma sebut sebagai 'orangnya'.
Luar biasa bapak dokter satu itu.
"Morning, my pretty twin," sapa Claudya sembari menunjukkan senyum terbaiknya.
"Hmm ... morning," sahut Cindy bergegas menghampirinya.
"I'm sorry," lirihnya tiba-tiba.
Cindy menatap Claudya lamat. "Sorry, for?" tanyanya bingung, tiba-tiba saja Claudya meminta maaf.
"For everything. Maaf karena merahasiakan ini dari lo, maaf kalau gue belum jadi adik yang baik bagi lo."
"Lo tahu semuanya? Sejak kapan?" tanya Cindy penasaran.
"Gue, sudah tahu sejak awal kita masuk kuliah. Inget waktu lo tiba-tiba pulang karena gue sakit, padahal lo masih ospek ...." Claudya menggantungkan ucapannya, seperti mengingat-ingat kembali kejadian beberapa tahun lalu.
Claudya melanjutkan ucapannya. "Gue nggak sengaja dengar, saat bunda dan ayah bahas soal ini. Mungkin saat itu mereka pikir gue udah tidur, padahal belum."
Claudya meraih tangan Cindy, genggamannya tidak begitu erat. "Tapi percaya deh, Cin. Gue, Bang Cakka, ayah, dan bunda, tulus sayang sama lo. Awalnya gue juga syok, gue kira ... bunda adalah ibu kandung kita berdua, ternyata posisi kita semua sama."
Cindy masih memperhatikan Claudya, ia menunduk dalam, tangannya sudah tidak lagi menggenggam tangan Cindy, sekarang ia gunakan untuk meremas ujung selimut. "Kita ... sama-sama kehilangan orang tua," lanjut Claudya.
Claudya menyeka sesuatu dari sudut matanya. "Gue kehilangan ibu, yang belum bisa gue ingat paras wajahnya," cicitnya pelan.
Cindy merengkuh tubuh ringkih Claudya, membawanya ke dalam pelukan. Bahunya bergetar, ia tidak mampu lagi menahannya. Dengan sedikit terisak, ia melanjutkan bercerita yang selama berapa tahun ia pendam.
"Cla, sudah, ya. Gue nggak mau nanti lo drop."
"Gue harus cerita, Cin. Gue nggak mau lo salah paham. Gue sedih nerima kenyataannya, tapi gue ... nggak mau lo juga sedih. Lo pasti, lebih sedih dari gue, kan, Cin? Itulah sebabnya gue juga lebih milih buat nyimpan rahasia ini. Sekali lagi maafin gue, Cin," ucap Claudya yang semakin terdengar lirih.
Cindy meraih tangan Claudya. "Nggak perlu minta maaf, nggak ada yang bersalah dalam hal ini. Justru gue yang berterima kasih. Gue punya saudara kayak lo, Bang Cakka. Kalian begitu baik menjaga dan ngerawat gue."
Sudah lima menit yang lalu Cindy dan Claudya saling melepaskan rasa rindu bercampur haru. Tidak lama pintu kamar inap Claudya terketuk. Menampilkan sosok pria tinggi yang—pernah mengisi relung hati Cindy—sudah hampir satu bulan tidak Cindy lihat.
Chan sudah memasuki kamar Claudya. Saat tatapan Chan menemukan keberadaan Cindy. "Cindy!" serunya.
Cindy terperanjat oleh pergerakan Chandrika, yang tak terduga sama sekali. Dan membuatnya membeku di tempat. Chan ... memeluknya.
"Gue khawatir, Cin. Lo baik-baik aja, kan?"
"Ekhem. Aku cemburu, loh," deham keras dari Claudya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cindy & Claudya (Republish)
FanficCindy, seorang dokter di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Bersama adik kembarnya-Claudya-sejak kecil bersahabat dengan Chandrika yang tak lain tetangganya. Cindy jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Namun, sang sahabat sudah lebih dulu me...